S&P Law Office

MEMAHAMI PERBEDAAN ANTARA BEA MASUK DAN BEA MASUK ANTI DUMPING DAN ARTI BAHASA DALAM HUKUM

S&P Law Office - Legal Brief

Dalam dunia perdagangan internasional, istilah bea masuk dan bea masuk antidumping mungkin terlihat serupa, namun tujuannya berbeda sehingga agak sedikit rumit. Artikel ini akan menjelajahi perbedaan hukum atas istilah tersebut. Seperti yang diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, bea masuk memiliki tujuan ganda, melindungi industri dalam negeri dan memberikan kontribusi kepada pendapatan nasional. Dikenakan pada barang impor, bea masuk wajib dikecualikan dalam zona perdagangan bebas yang diatur oleh peraturan khusus.

Sebaliknya, Bea Masuk Antidumping (BMAD) muncul sebagai kebijakan khusus yang bertujuan melindungi industri dalam negeri dari dampak buruk praktik pembuangan – penjualan barang di bawah harga pasar. Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, BMAD berperan sebagai pungutan diskriminatif pada produk buangan (dumped) yang menyebabkan adanya kerugian bagi produsen dalam negeri.

Titik temu antara kedua istilah ini telah memicu perdebatan hukum, seperti yang diilustrasikan dalam sebuah kasus yang melibatkan perusahaan di Cilegon, Banten. Keberatan terhadap kesetaraan antara bea masuk dan bea masuk antidumping dalam penjelasan Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2012 menjadi sorotan, dengan perusahaan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Namun, penolakan Mahkamah Agung menyoroti kompleksitas interpretasi hukum yang terus berlanjut.

Keputusan Mahkamah Agung (MA) untuk mempertahankan interpretasi dalam Pasal 14 mencerminkan tantangan berkelanjutan dalam kejelasan hukum. Meskipun argumen perusahaan bahwa penjelasan tersebut memperluas cakupan ‘bea masuk’, pengadilan tetap pada pendiriannya, menekankan pentingnya memahami bahasa hukum dalam formulasi legislatif.

 

Arti ‘Dan’, ‘Atau’, dan ‘Dan/Atau’ dalam Peraturan Hukum

Pemahaman mendalam terhadap bahasa hukum merupakan kunci utama dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, istilah “dan”, “atau”, dan “dan/atau” menjadi lema yang sering digunakan dengan makna yang khas, memerlukan interpretasi yang tepat.

Lema ‘dan’ seringkali digunakan untuk menyatakan sifat kumulatif, di mana beberapa aspek atau syarat harus dipenuhi secara bersamaan. Sebagai contoh, Pasal 30 UU No. 38 Tahun 2009 tentang Pos menekankan pentingnya penyelenggara pos menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keselamatan kiriman secara bersamaan.

Meskipun demikian, dalam praktiknya, interpretasi lema ‘dan’, ‘atau’, dan ‘dan/atau’ tidak selalu sesuai dengan makna gramatikal. Contohnya, Pasal 90 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan wewenang kepada instansi pemerintah dan/atau instansi pemerintah daerah untuk mengajukan gugatan, namun penggunaan ‘dan’ dalam peraturan ini telah ditafsirkan sebagai alternatif dalam beberapa kasus hukum lingkungan.

 

Arti ‘Dapat’, ‘Wajib’, dan ‘Harus’

Bahasa yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan memiliki peran krusial dalam menjaga kejelasan dan ketegasan. Ada beberapa ciri bahasa perundang-undangan yang lugas, pasti, dan objektif, dengan fokus pada penggunaan istilah ‘dapat’, ‘wajib’, dan ‘harus’.

Kata ‘dapat’ memiliki signifikansi penting dalam peraturan perundang-undangan, sering kali digunakan untuk menyatakan konsekuensi dari suatu perbuatan. Sebagai contoh, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pada awalnya menggunakan kata ‘dapat’, memberikan fleksibilitas dalam penegakan hukum. Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 mengubah paradigma ini dengan menghapuskan kata ‘dapat’, menggeser kualifikasi delik dari formil menjadi materiil.

Kata ‘wajib’ dan ‘harus’ muncul sebagai pilar utama dalam menentukan kewajiban atau tindakan yang harus dilaksanakan. Contohnya, UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) menetapkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai ‘wajib’ dalam beberapa konteks. Meskipun demikian, keputusan pengadilan terkait kasus perjanjian pinjaman menunjukkan bahwa interpretasi dan implementasi kata ‘wajib’ tidak selalu sederhana.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai penghapusan kata ‘dapat’ dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menimbulkan perdebatan dan implikasi besar. Meskipun sebagian hakim menyatakan pendapat berbeda, keputusan ini mengubah status tindak pidana korupsi dari delik formil menjadi materiil.

Penggunaan kata ‘wajib’ dalam UU Bahasa memicu debat terutama terkait dengan pembatalan kontrak yang tidak menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun demikian, interpretasi yang berbeda-beda terkait keharusan ini dapat memunculkan tantangan dalam praktik hukum sehari-hari, seperti yang terjadi dalam kasus perjanjian pinjaman.

 

Revisi Pasal 31 UU Bahasa dan Kontroversi Istilah ‘Alat Berat’ dalam UU LLAJ

Revisi Pasal 31 UU Bahasa menjadi isu penting setelah kontroversi terkait interpretasi kata ‘wajib’. Artikel ini akan membahas kebutuhan revisi tersebut dan merinci kontroversi terkait istilah ‘alat berat’ dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Pasal 31 UU Bahasa, yang mengatur kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian, telah menimbulkan kontroversi terutama dalam kasus perjanjian pinjaman. Meskipun dihapuskan oleh MA perdebatan terus berkembang.

UU LLAJ membedakan kendaraan bermotor menjadi berbagai jenis, termasuk kategori ‘kendaraan khusus’. Namun, masalah muncul terkait istilah ‘alat berat’ yang dianggap salah dikategorikan sebagai kendaraan bermotor. Putusan MK menegaskan bahwa kesalahan bukan terletak pada penggunaan istilah ‘alat berat’, melainkan pada kategorisasi kendaraan.

Kontroversi seputar ‘alat berat’ memberikan panggilan untuk klarifikasi dalam UU LLAJ. Artikel ini akan membahas perlunya peninjauan kembali terhadap terminologi dan kategorisasi untuk menjaga kejelasan aturan, terutama terkait persyaratan teknis dan laik jalan untuk jenis kendaraan tertentu.

Dengan demikian, dalam merancang peraturan perundang-undangan, kejelasan bahasa dan konsistensi dalam penggunaan istilah menjadi prinsip utama guna meminimalkan ambiguitas dan memastikan kepastian hukum.


Disclaimer

Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.


Dasar Hukum

  • Pasal 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2011 tentang Tindakan Anti dumping
  • Pasal 30 UU No. 38 Tahun 2009 tentang Pos
  • Pasal 15 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
  • Pasal 107 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
  • Pasal 90 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  • UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa)
  • Pasal 31 UU Bahasa

Penutup

Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di:

About S&P Law Office

S&P are passionate about helping our clients through some of their most challenging situations. We take a practical approach to your case, and talk with you like a real person. With each and every client, we aim to not only meet, but to exceed your expectations.

Recent Post