DASAR HUKUM:
- Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
- Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
- Pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang;
- Pasal 14 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang;
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
- Pasal 1 butir 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
- Pasal 1 butir 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
- Pasal 1 butir 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
- Pasal 180 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
- Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
- Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
- Pasal 185 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
- Pasal 185 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
- Pasal 188 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
PELAKSANAAN AMINUS CURIAE DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
Hukum acara pidana dikenal adanya mekanisme pembuktian yang dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti untuk memperoleh suatu keyakinan atas benar atau tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. Hakim tidak boleh menolak untuk mengadili perkara yang tidak memiliki dasar hukum atau pengaturan hukumnya jelas. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Serta dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Ketika ada suatu perkara yang kurang jelas, maka hakim mempunyai kewajiban untuk memperjelas dengan menciptakan hukum baru yang seadil-adilnya.
Dalam perkembangan mekanisme pembuktian dan alat bukti yang ada, salah satunya adalah adanya Amicus Curiae. Amicus Curiae merupakan praktik yang umum dalam sistem hukum Common law. Seiring dengan perkembangan hukum Indonesia, praktik Amicus Curiae ditemukan dalam berbagai peradilan di Indonesia, khususnya peradilan pidana. Peradilan pidana di Indonesia telah menganut beberapa asas peradilan dari sistem hukum Common law, seperti asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) sehingga wajar apabila praktik Amicus Curiae digunakan dalam perkara pidana yang ada. Amicus Curiae merupakan akibat hukum dari demokrasi yang dianut Indonesia. Partisipasi setiap warga negara terhadap penegakan hukum diwujudkan dalam bentuk Amicus Curiae. Akan tetapi, praktik Amicus Curiae belum diatur secara pasti di dalam hukum positif Indonesia. Amicus Curiae adalah pihak ketiga yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, dengan memberikan pendapat hukumnya di pengadilan. Amicus Curiae hanya sebatas memberikan opini, dan bukan melakukan perlawanan.
Amicus Curiae belum diatur secara jelas di Indonesia, namun dasar hukum diterimanya konsep Amicus Curiae di Indonesia adalah mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal ini menjadi alasan bagi hakim untuk mengetahui kekuatan pembuktian. Pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Pasal 14 ayat (4) dinyatakan bahwa pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung yaitu:
- pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya; atau
- pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud.
Praktik Amicus Curiae ini sebenarnya sudah lazim dipakai di Negara yang menggunakan sistem common law dan bukan sistem civil law yang dianut oleh Negara Indonesia, namun bukan berarti praktik ini tidak pernah diterapkan atau dipraktikkan di Indonesia. Dengan demikian, dalam peradilan Indonesia, Amicus Curiae belum diatur secara jelas, namun dasar hukum diterimanya konsep Amicus Curiae di Indonesia adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Amicus Curiae atau dapat disebut juga dengan “friends of court” atau sahabat pengadilan, adalah masukan dari individu maupun organisasi yang bukan bertindak sebagai pihak dalam perkara tetapi menaruh perhatian atau berkepentingan terhadap suatu kasus. Ketika yang menjadi Amicus Curiae lebih dari satu orang atau dilakukan oleh sekelompok orang, maka penyebutannya sebagai Amicus Curiae, sedangkan pengajuannya disebut sebagai Amici(s). Penggunaan Amicus Curiae dapat digunakan oleh hakim sebagai bahan untuk memeriksa, mempertimbangkan serta memutus perkara.
Hakim dapat menggunakan informasi dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan suatu kasus. Amicus Curiae ini berbeda dengan pihak dalam intervensi karena Amicus Curiae tidak bertindak sebagai pihak yang berperkara, tetapi menaruh perhatian terhadap suatu kasus secara khusus.
Biasanya hakim di negara-negara yang sudah mengakui dan mengakomodir Amicus Curiae atau pengadilan-pengadilan internasional yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia di dalam membuat putusannya selalu mempertimbangkan dan menilai Amicus Curiae. Pelaksanaan Amicus Curiae biasanya digunakan untuk kasus-kasus dalam proses banding dan isu-isu kepentingan umum, seperti masalah sosial atau kebebasan sipil yang sedang diperdebatkan. Sehingga putusan hakimnya akan memiliki dampak yang luas terhadap hak-hak masyarakat.
Terdapat tiga kategori Amicus Curiae, yaitu:
- Mengajukan ijin/permohonan untuk menjadi pihak yang berkepentingan dalam persidangan;
- Memberikan pendapat atas permintaan hakim, atau
- Memberikan informasi atau pendapat atas perkaranya sendiri.
Pada dasarnya sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat-alat bukti, dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu digunakan, serta bagaimana hakim harus membentuk keyakinan di depan sidang pengadilan.
Sumber-sumber hukum pembuktian adalah:
- Undang-undang;
- Doktrin atau ajaran;
- Yurisprudensi
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting pada acara pidana. Dalam hal ini hak asasi manusia dipertaruhkan. Karena hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, dan berbeda dengan hukum perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal. Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem dan teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Berikut ini penulis akan menuraikan keempat sistem atau teori pembuktian tersebut di atas sebagai berikut:
- Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie)
Artinya telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formale bewijstheorie). Sistem ini menitikberatkan pada adanya bukti yang sah menurut undang-undang. Apabila hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa, namun apabila ada alat bukti yang sah menurut undangundang, maka ia dapat menjatuhkan hukuman kedapa terdakwa;
- Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata (Conviction In Time).
Sistem atau teori ini memberi kebebasan kepada hakim sehingga hakim sulit untuk diawasi. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup, apabila hakim tidak yakin, maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana. Tetapi sebaliknya, apabila alat bukti tidak ada tapi jika hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali;
- Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Conviction In Raisone).
Sistem pembuktian ini mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis. Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan mana didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada aturan-aturan pembuktian tertentu. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang.
- Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk).
Menurut teori ini hakim hanya dapat menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat bukti yang telah di tentukan undang-undang, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Hal tersebut sesuai dengan bunyi yang ada pada Pasal 183 KUHAP.
Atas dasar ketentuan Pasar 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti).
Hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia memberlakukan adanya sistem pembuktian yang didasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kesalahan terdakwa harus berdasarkan pada kesalahannya yang terbukti dan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan hakim memiliki kayakinan bahwa tindak pidana yang benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukannya.
Sebagaimana yang ada dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang telah menentukan secara “limitative” alat bukti yang sah menurut undang-undang. Diluar dari alat bukti tersebut tidak dibenarkan untuk dipergunakan dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Yang dinilai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1).
Alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia ada pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu meliputi:
- Keterangan saksi;
- Keterangan ahli;
- Surat;
- Petunjuk;
- Keterangan terdakwa.
Menurut jenis-jenis alat bukti tersebut, maka Amicus Curiae bukan termasuk alat bukti yang diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, tetapi prakteknya sudah dilakukan, dalam berbagai perkara. Ketika suatu organisasi mengajukan Amicus Curiae dalam persidangan dan mendapat persetujuan hakim, maka Amicus Curiae diperbolehkan untuk mengemukakan pendapatnya tetapi tidak untuk melawan.
Amicus Curiae ini tidak harus pengacara, tetapi boleh orang yang memiliki pengetahuan terkait suatu perkara yang membuat keterangannya berharga bagi pengadilan. Amicus Curiae dapat memberikan keterangan berupa tulisan ataupun lisan di dalam persidangan, dan berkas yang diajukan secara tertulis biasanya disebut sebagai Amicus Brief. Dalam memberikan keterangan, Amicus Curiae dapat memberikan keterangan di persidangan atas permintaan dirinya sendiri atau diminta oleh pengadilan, tetapi harus seijin ketua pengadilan. Karena tujuan Amicus Curiae memberikan keterangan adalah untuk membantu pemeriksaan, dan sebagai bentuk partisipasi. Keterangan yang diberikan juga dapat berupa paparan fakta, atau pendapat hukum, ilmiah.
Penggunaan Amicus Curiae jika dilihat dari teori penjatuhan putusan oleh hakim sebenarnya dapat dibenarkan. Karena dalam teori penjatuhan putusan, hakim haurs mempertimbangkan keseimbangan antara apa yang sudah diatur dalam undang-undang yang berlaku dan kepentingan para pihak yang berkaitan dalam perkara. Misalnya keseimbangan yang berkaitan langsung dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan lain-lain. Karena alasan mengajukan Amicus Curiae adalah demi kepentingan masyarakat luas. Jika dilihat dari teori penjatuhan putusan yang dilihat melalui pendekatan keilmuan, hakim sering kali meminta saksi ahli untuk mengutarakan pendapatnya. Keterangan ahli itulah hakim dapat mempertimbangkan dan menentukan putusan yang seharusnya dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan yang diharapkan oleh para pihak di persidangan atau masyarakat pada umumnya.
Sementara untuk Indonesia, Amicus Curiae belum banyak dikenal dan digunakan, baik oleh akademisi maupun praktisi. Peradilan Indonesia di bawah Mahkamah Agung memang tidak memiliki aturan tentang Amicus Curiae, namun Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Hal tersebut juga di dukung dengan adanya Pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 menyatakan bahwa pihak terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah “pihak yang karena kedudukannya, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya” atau “pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya terhadap permohonan yang dimaksud”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep Amicus Curiae telah diadopsi sebagian oleh Mahkamah Konstitusi dalam Peraturannya.
Undang-undang lain yang menjadi peluang diperbolehkannya penggunaan Amicus Curiae dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang terdapat dalam Pasal 180 ayat (1) KUHAP. Pasal tersebut menyebutkan bahwa “dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”. Pasal tersebut secara tidak langsung menjadi peluang untuk masuknya Amicus Curiae dalam proses persidangan perkara pidana di Indonesia.
Melihat beberapa aturan yang dapat dijadikan dasar dalam penggunaan Amicus Curiae, maka dapat dikatakan konsep Amicus Curiae telah diadopsi di beberapa bagian peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, meskipun keberadaannya tidak disebutkan secara konkret. Pengajuan Amicus Curiae dapat dikatakan sebagai pengakuan secara informal, karena belum mempunyai dasar hukum yang mengakui secara jelas mengenai penggunaan Amicus Curiae.
Ketika dalam melaksanakan pertimbangannya, hakim menjalankan wewenangnya dengan memberikan pertimbangan yang dilaksanakan secara bijaksana. Hakim dianggap selalu mengetahui semua tentang hukum, ketika hakim tidak tahu maka tugas hakim untuk mencari tahu terlebih dahulu. Kepentingan Amicus Curiae adalah sebatas memberikan opini atau pendapat hukum. Amicus Curiae tidak disebutkan dalam alat bukti yang ada pada KUHAP. Karena kekuatan pembuktian terletak dalam Pasal 183 KUHAP. Menurut pasal tersebut, hakim yang memutus suatu perkara dilarang menjatuhkan pidana tanpa dasar berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan berdasarkan alat bukti tersebut.
Alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu:
- Keterangan Saksi
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling berperan dalan pemeriksaan perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu berdasarkan pemeriksaan saksi. Pasal 1 butir 27 KUHAP, menjelaskan keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, lihat, alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (testimonium de auditu). Mengenai siapa yangdisebut sebagai saksi, dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP disebutkan yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntuan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri. Supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, maka keterangan itu harus dinyatakan di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 185 ayat (1). Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside of the court) bukan berupa alat bukti, dan tidak digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Pasal 185 ayat (2) keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis).
Penilaian terhadap keterangan saksi bergantung pada hakim dimana hakim bebas, tetapi bertanggungjawab menilai kekuatan pembuktian keterangan saksi untuk mewujudkan kebenaran hakiki. Keterangan saksi mempunyai kekuatan pembuktian bebas. Oleh karena itu, alat bukti kesaksian tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak menentukan atau mengikat nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi bergantung pada penilaian hakim sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas dapat dilumpuhkan terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksi a de charge ataupun keterangan ahli. Saksi a de charge adalah keterangan saksi yang mendengar orang lain mengatakan atau menceritakan sesuatu. Maka keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah.
- Keterangan Ahli
Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana, guna kepentingan pemeriksaan. Menurut Karim A. Nasution, pengertian tentang ahli tidak harus merujuk pada seseorang yang memperoleh pendidikan khusus atau orang yang memiliki ijazah tertentu, tetapi setiap orang yang menurut hukum acara pidana dapat diangkat sebagai ahli, asal dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai suatu hal, atau memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman tentang hal tersebut.
Keterangan ahli bersifat umum berupa pendapat atas pokok perkara yang sedang disidangkan atau yang berkaitan dengan pokok perkara tersebut. Ahli tidak diperkenankan memberikan penilaian terhadap kasus konkret yang sedang disidangkan. Oleh karena itu, pertanyaan kepada ahli biasanya bersifat hipotesis atau pernyataan yang bersifat umum, dan ahli tidak diperkenankan memberikan penilaian terhadap salah atau tidaknya terdakwa berdasarkan fakta persidangan yang dinyatakan kepadanya.
- Surat
Sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 186 KUHAP, yakni surat yang dibuat atas sumpah jabatan, atau surat yang dilakukan dengan sumpah. Dianggap sebagai surat yang bernilai sebagai alat bukti yakni, suatu berita acara yang membuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya. Surat yang berbentuk ketentuan perundangundangan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Surat keterangan ahli, dan atau surat lainnya yang bersifat resmi.
Nilai pembuktian surat dari segi formal sebagai alat bukti sempurna, dari aspek meteriil mempunyai kekuatan yang mengikat dan hakim bebas melakukan penilaian atas substans surat tersebut, dengan asas keyakinan hakim, dan asas batas minimum pembuktian.
- Petunjuk Alat bukti
Petunjuk adalah alat bukti yang berbeda dengan alat bukti yang lainnya. Alat bukti petunjuk tidak diperiksa di pengadilan, karena alat bukti petunjuk tidak memiliki wujud konkret atau dapat dikatakan alat bukti petunjuk berbentuk abstrak. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP alat bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
- Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1). Penempatan terakhir ini sebagai alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di dalam persidangan tentang perbuatan yang dia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
Kedudukan Amicus Curiae tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang tercantum dalam KUHAP. Karena Amicus Curiae ini adalah alat bukti baru yang tidak memiliki bentuk baku dan belum diatur secara jelas atau formiil dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Kekuatan pembuktian dari Amicus Curiae tertelak pada keyakinan hakim dalam menilai isi serta relevansi dari Amicus Curiae yang diajukan dalam perkara tersebut.
Amicus Curiae juga tidak dapat dikatakan sebagai saksi atau saksi ahli, karena Amicus Curiae merupakan sesuatu yang baru dalam peradilan pidana, namun dalam praktiknya sudah diterapkan dalam beberapa kasus di peradilan Indonesia. Amicus Curiae tidak dapat dikatakan sebagai saksi karena dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang sesuatu perkara pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri dan dia alami sendiri. sedangkan Amicus Curiae adalah orang yang merasa berkepentingan alasannya yaitu untuk mengklarifikasi isu-isu yang faktual, menjelaskan isu-isu hukum yang ada dan mewakili kelompok-kelompok tertentu, tidak dijelaskan bahwa Amicus Curiae haruslah orang yang melihat, mendengar ataupun mengalami sendiri.
Amicus curiae tidak dapat dikatakan sebagai saksi ahli, karena saksi ahli tidak bisa sembarang orang, tetapi keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus. Sedangkan Amicus Curiae tidak harus orang yang mempunyai keahlian khusus seperti saksi ahli, tetapi masyarakat biasapun bisa menjadi Amicus Curiae asalkan orang tersebut mengikuti kasus yang ada. Amicus Curiae dapat menjadi pertimbangan hakim. Karena di dalam KUHAP sistem pembuktian yang dianut adalah sistem pembuktian undang-undang secara negatif, bisa dilihat dari penjelasan KUHAP Pasal 183 yang ketentuannya itu memperlihatkan bahwa di dalam pembuktian diperlukan dua alat bukti yang sah dan adanya keyakinan hakim. Dikarenakan Amicus Curiae belum dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sak, maka Amicus Curiae dapat dijadikan pertimbangan hakim, sebab dalam teori pembuktian undang-undang secara negatif, bukan hanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tetapi adanya keyakinan hakim.
Hal tersebut dilakukan untuk membantu hakim agar dapat adil dan bijaksana dalam memutus sebuah perkara. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa kewajiban hakim untuk “menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dimasyarakat”. Jadi ketentuan tersebut mewajibkan hakim untuk membuka seluas-luasnya informasi dan pendapat dari berbagai kalangan masyarakat baik yang menjadi para pihak yang berperkara maupun melalui masukan dari pihak yang di luar para pihak yang sedang berperkara. Ketika keterbukaan pikiran dan luasnya informasi yang didapatkan oleh hakim, maka hakim dapat menghasilkan suatu putusan yang adil dengan pertimbangan yang bijaksana. Didalam putusan hakim harus selalu tetap memperhatikan tiga unsur yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Ketiga unsur tersebut haruslah seimbang, dan tidak boleh mengutamakan salah satu dari ketiga unsur tersebut.
Amicus Curiae dalam kasus sambo
Dalam kasus ini, Amicus Curiae diberikan kepada terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E. Eliezer adalah salah satu terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J pada 8 Juli 2022. Dalam kasus ini, Eliezer menjadi terdakwa bersama Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, serta ajudan Sambo selain Eliezer, yaitu Ricky Rizal atau Bripka RR. Selain itu, seorang asisten rumah tangga sekaligus sopir keluarga Sambo, Kuat Ma’ruf, juga turut menjadi terdakwa dalam kasus yang menyita perhatian publik ini.
Pada sidang tuntutan yang digelar 18 Januari 2023, JPU menuntut Eliezer dengan hukuman 12 tahun penjara. Tuntutan ini lebih tinggi dibanding terdakwa Putri, Ricky dan Kuat. Amicus Curiae kemudian diberikan oleh ratusan guru besar, dosen universitas terkemuka di Tanah Air yang tergabung dalam Aliansi Akademisi Indonesia terhadap Eliezer. Sebanyak 122 cendekiawan itu menyerahkan surat ke PN Jakarta Selatan pada 6 Februari 2023. Mereka menyatakan bahwa kasus pembunuhan yang melibatkan Eliezer harus ditangani dengan adil dan penuh pemahaman hukum yang tidak hanya bersifat tekstual, tapi juga kontekstual. Terlebih, dengan statusnya sebagai justice collaborator (JC), hukuman yang diterima Eliezer seharusnya tidak terlalu berat. Richard Eliezer mendapatakan status JC dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) lantaran telah membongkar skenario pembunuhan yang dibuat oleh Ferdy Sambo untuk menutupi peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir J. Selain Aliansi Akademisi Indonesia, Amicus Curiae juga diberikan oleh ICJR, Public Interest Lawyer Network (Pilnet) dan ELSAM, serta sejumlah pihak lainnya untuk meringankan hukuman Eliezer.
SUMBER:
- Linda Ayu Pralampita, 2020. Kedudukan Amicus Curiae Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia, LEX Renaissance No. 3 Vol. 5 Juli 2020, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Indonesia,Yogyakarta.
- Sukinta,2021. Konsep dan Praktik Pelaksanaan Amicus Curiae Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Administrative Law & Governance Journal. Volume 4 Issue, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang.