Kirana Two Office Tower 10th Floor Unit A - 14250, Jakarta
DASAR HUKUM:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
- Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
- Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
- Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
- Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
- Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
- Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
- Pasal 26 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
- Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2016 Tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia;
- Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2016 Tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia;
- Pasal 3 Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2016 Tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia;
- Pasal 4 Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2016 Tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia;
- Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pengasuhan Anak;
- Pasal 1 ayat 2 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pengasuhan Anak;
- Pasal 2 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pengasuhan Anak;
- Pasal 3 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pengasuhan Anak;
- Pasal 8 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pengasuhan Anak;
- Pasal 9 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pengasuhan Anak;
- Pasal 10 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pengasuhan Anak;
- Pasal 11 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pengasuhan Anak;
- Pasal 12 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pengasuhan Anak; Surat Edaran Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama No.1669/DJA/HK.00/5/2021 Perihal Jaminan Pemenuhan Hak-Hak Perempuan Dan Anak Pasca Perceraian.
HAK DAN KEWAJIBAN ORANG TUA TERHADAP ANAK Suatu perkawinan bila dikaruniai anak, maka perkawinan tersebut tidak hanya menimbulkan hak dan kewajiban kepada suami istri melainkan juga menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri yang bersangkutan di satu sisi tetapi juga dalam perhubungannya pada hak-hak dan kewajibannya terhadap anak-anaknya. Kewajiban yang di maksud di atur dalam Pasal 45 s/d 49 UU No. 1 Tahun 1974.
Dalam pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 di sebutkan bahwa, kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Demikian pula sebaliknya, seorang anak bukan hanya memiliki hak terhadap orang tuanya, tetapi juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi kepada orang tuanya, misalnya memelihara orang tua mereka ketika sudah tua.
Dari penjelasan di atas, dapat di pahami bahwa hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anak mereka dilakukan secara timbal balik, berdasarkan dengan prinsip-prinsip yang patut dan dibenarkan menurut hukum negara, agama dan kemanusiaan. Akibat hukum atas putusnya perkawinan biasanya berdampak pada dua hal, yakni siapa yang berhak terhadap hak asuh terhadap anak-anaknya dan yang kedua terhadap harta bersama. Dengan terjadinya perceraian, maka bekas suami istri yang bersangkutan yang merupakan ayah dan ibu dari anak-anaknya tetap berkewajiban dan bertanggung jawab dalam memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata karena kepentingan anak-anaknya sendiri. Kalau terjadi perselisihan kepada siapa anak itu ikut apakah ke bapaknya ataukah ke ibunya, maka pengadilan yang memutuskan untuk mendapatkan hak asuh atas anak-anaknya. UU No. 1 tahun 1974 diatur dalam pasal 38. Putusnya perkawinan dapat terjadi karena 3 hal, yaitu:
Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya perkawinan karena matinya salah satu pihak (suami atau istri). Sejak matinya salah satu pihak, itulah awal putusnya perkawinan terjadi dan terjadi dengan sendirinya. Putusnya perkawinan karena perceraian adalah putusnya perkawinan karena dinyatakan talak oleh seorang suami terhadap istrinya yang perkawinannya dilangsungkan menurut Agama Islam. Putusnya perkawinan demikian ini disebut cerai talak.
Cara-cara putusnya perkawinan menurut undang-undang perkawinan tidak diatur secara terperinci mengenai cara-cara perceraian seperti yang diatur dalam hukum Islam, melainkan hanya menyebutkan secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan ke dalam tiga golongan yang tercantum dalam pasal 38 UUP. Kemudian, tentang cerai sebab putusan pengadilan hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan.
Ada tujuh akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anakanaknya, yaitu sebagai berikut:
Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya ( pasal 156 Inpres No. 1 tahun 1991).
Menurut Undang-undang Perkawinan meskipun telah terjadi perceraian, bukan berarti kewajiban suami isteri sebagai ayah dan ibu terhadap anak di bawah umur berakhir. Suami yang menjatuhkan talak pada istrinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai dengan kedudukan suami.
Kewajiban memberi nafkah anak harus terus-menerus dilakukan sampai anak-anak tersebut baliq dan berakal serta mempunyai penghasilan sendiri. Baik bekas suami maupun bekas isteri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak. Suami dan isteri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu yang memikul biaya anak-anak.
Dalam pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 di sebutkan tiga akibat putusnya perkawinan karena percerian terhadap anak-anaknya sebagai berikut.
Perlu dicermati bahwa ketentuan Pasal 41 huruf a, UU Perkawinan pada bagian terakhir menyatakan bahwa ”bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya”. Dari ketentuan tersebut maka dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinan itu putus karena perceraian, maka salah satu pihak juga dapat memohonkan agar diberikan Hak Asuh atas anak-anak (yang masih dibawah umur) yang lahir dalam perkawinan tersebut.
Pada dasarnya orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan anaknya, baik orang tua dalam keadaan rukun maupun dalam keadaan sudah bercerai. Dalam pasal 41 Undang-undang perkawinan, garis hukum yang terkandung ialah tampak tidak membedakan antara tanggung jawab pemeliharaan yang mengandung nilai materil dengan tanggung jawab pengasuhan anak yang mengandung nilai nonmaterial atau yang mengandung nilai kasih sayang. Undang-undang perkawinan penekanannya berfokus pada nilai materilnya.
Hak-hak anak yang dilindungi oleh Pasal 41 Huruf a UU No. 1 tahun 1974 dijelaskan yaitu mengenai hak untuk mendapatkan pemeliharaan dan pendidikan dari kedua orang tuanya. Baik bapak atau Ibu si-anak berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anak yang mereka peroleh selama pernikahan. Upaya hukum yang dapat melindungi anak dari tindakan orang tua yang tidak bertanggung jawab sangat diperlukan dalam hal ini, jangan sampai anak-anak yang telah mengalami penderitaan akibat perceraian orang tua mereka juga mendapat perlakuan sama yang semena-mena dengan tidak dipenuhinya hak-hak yang seharusnya dapat mereka peroleh.
Secara global sebenarnya undang-undang perkawinan telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang di rangkai dengan akibat putusnya sebuah perkawinan di dalam pasal 41. Menyangkut masalah kewajiban orang tua terhadap anak di muat dalam Bab X mulai pasal 45-49. Pasal 45;
Menyadari demikian pentingnya anak dalam kedudukan keluarga, individu, masyarakat, bangsa dan negara maka negara mengatur melalui undang-undang hak-hak anak misalnya dalam, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan juga UU No. 23 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang pelindungan anak. dan berbagai peraturan perundang-undangan lain.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014 dibawah ini akan menjelaskan lebih jelas lagi menurut Pasal 14 UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014.
Dalam hal penyelesaian bentuk dari masalah hak asuh anak ini merupakan kerjasama yang baik antara orang tua agar tidak menumbuhkan pengaruh negatif terhadap anak. Kerjasama yang dimaksud disini ialah sama-sama memberikan nafkah, mendidik dan memelihara tanpa menanamkan sifat tercela kepada si anak bahwa perceraian yang dilakukan kedua orang tua itu adalah hal terburuk dan hal yang menakutkan, sehingga adanya rasa kebencian yang timbul dari pemikiran anak terhadap salah satu orang tuanya.
Selain itu dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan secara rinci mengenai hak anak dan kewajiban orang tua. Sementara itu kewajiban orang tua terhadap anak dijelaskan dalam pasal 26 yaitu Pasal 26 ayat 1: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk Pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak. Pasal 26 ayat 2: Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada Keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan. Dalam Undang-undang ini perlindungan anak sangat lebih diutamakan, dimana hal ini tetap harus dilakukan meskipun diantara ibu atau ayahnya yang bersengketa salah satunya berkeyakinan di luar Islam, atau diantara mereka berlainan bangsa, namun dalam memutuskan terhadap pilihan anak tersebut harus melihat untuk kemaslahatan anak tersebut yang dalam hal ini bukan hanya kemaslahatan dunianya saja tetapi juga adalah akhir dari dunia ini yaitu akhiratnya. Lalu terkait dalam perlindungan anak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 61 tahun 2016 Tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang selanjutnya disingkat KPAI adalah lembaga yang bersifat independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2O14. Tugas KPAI sendiri diatur dalam:
Pasal 3, KPAI mempunyai tugas:
memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.
Berdasarkan Pasal 7 Perpres ini, KPAI dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Sekretariat KPAI yang dipimpin oleh Kepala Sekretariat. Sekretariat bertugas untuk memberikan dukungan teknis dan administrator kepada KPAI. Kedudukan Sekretariat KPAI yang sebelumnya bertanggung jawab kepada KPAI, kini bertanggung jawab kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Selanjutnya dalam Pasal 8 ditegaskan untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Ketua KPAI dapat membentuk suatu kelompok kerja, yang dapat berasal dari pemerintah, akademisi dan masyarakat. Kelompok kerja tersebut dikoordinasikan dan di fasilitasi oleh Sekretariat KPAI dalam melaksanakan tugasnya.
Selain peraturan diatas, juga ada peraturan terkait dengan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pengasuhan Anak. Pada Pasal 1 ayat 2: “Pengasuhan Anak adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan yang menetap dan berkelanjutan demi kepentingan terbaik anak, yang dilaksanakan baik oleh orang tua atau keluarga sampai derajat ketiga maupun orang tua asuh, orang tua angkat, wali serta pengasuhan berbasis residensial sebagai alternatif terakhir.”
Menurut Pasal 2, Pengasuhan anak didasarkan pada prinsip perlindungan anak yang terdiri atas :
Pada Pasal 3 dissebutkan bahwa Pengasuhan anak dilakukan dengan memperhatikan:
Pengasuhan sangat penting bagi anak yang masih dibawah umur atau anak yang masih membutuhkan pengasuhan dari orang tuanya. Tujuan Pengasuhan Anak yaitu yaitu mendidik anak agar mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialnya agar diterima oleh masyarakat sekitarnya. Tujuan pengasuhan dapat tercapai dengan baik jika ada dukungan dari orang tua dan lingkungan sekitarnya. Pengasuhan orang tua berfungsi untuk memberikan kelekatan dan ikatan emosional atau kasih sayang antara orang tua dengan anaknya Jika orang tua tidak dapat mengasuh dengan baik maka fungsi pengasuhan tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Sehingga akan mempengaruhi perkembangan bagi anak.
Tujuan dari penyelenggaraan pengasuhan juga terdapat di Pasal 5 Peraturan Menteri Sosial Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pengasuhan Anak yaitu :
Adapun Pasal mengenai Kewajiban dan Tanggung Jawab orang tua terhadap anak, antara lain:
Pasal 8:
Pasal 9:
Pasal 10:
Pasal 11:
Pasal 12:
Pengasuhan Anak adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan yang menetap dan berkelanjutan demi kepentingan terbaik bagi Anak.
Dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut, Orang Tua di lingkungan Keluarga merupakan orang yang pertama berkewajiban dan bertanggung jawab atas Pengasuhan Anak, demi terwujudnya perlindungan dan kesejahteraan Anak. Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri kecuali ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Akan tetapi, demi kelangsungan tumbuh kembang dan kepentingan Anak itu sendiri perlu ada pihak-pihak lain yang melindungi.
Peralihan tanggung jawab pengasuhan Orang Tua kepada pihak lain ditujukan kepada Anak yang Orang Tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang Anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Menurut Pasal 2 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak, pelaksanaan Pengasuhan Anak yang bertujuan untuk:
Sedangkan Hak Dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Menurut Surat Edaran Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama No.1669/DJA/HK.00/5/2021 Perihal Jaminan Pemenuhan Hak-Hak Perempuan Dan Anak Pasca Perceraian mengenai Hak Anak Akibat Perceraian, anatar lain: