Kirana Two Office Tower 10th Floor Unit A - 14250, Jakarta
Kasus korupsi yang melibatkan PT Pertamina (Persero) pada rentang tahun 2018-2023 menjadi sorotan publik karena melibatkan berbagai aspek tata kelola perusahaan, pengawasan, serta pertanggungjawaban manajemen, termasuk Komisaris Utama. Sebagai salah satu entitas bisnis milik negara yang strategis, PT Pertamina (Persero) memiliki sistem pengawasan yang melibatkan Dewan Komisaris sebagai bagian dari tata kelola perusahaan untuk memastikan operasional yang transparan dan akuntabel.
Dalam konteks hukum dan tata kelola korporasi, Komisaris Utama memiliki tanggung jawab dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan direksi serta memastikan perusahaan berjalan sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG). Namun, dalam kasus korupsi yang terjadi di tubuh Pertamina, muncul pertanyaan tentang sejauh mana pertanggungjawaban Komisaris Utama dalam mencegah atau mendeteksi praktik korupsi di Pertamina.
Praktik korupsi mega dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) terjadi antara tahun 2018-2023. Terungkapnya kasus ini bermula dari adanya keluhan masyarakat di beberapa daerah akibat buruknya kualitas produk Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamina jenis RON 92 alias Pertamax. [1] Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar, laporan awal datang dari warga Papua dan Palembang, Sumatera Selatan.[2] Menindaklanjuti laporan tersebut, Kejaksaan Agung kemudian melakukan investigasi dan mengumpulkan data dan mengungkap bahwa terdapat praktik ‘pengoplosan’ atau blending dalam produksi Pertamax dengan Pertalite atau RON 90.[3]
Lebih lanjut, Penyidik dari Kejaksaan Agung menemukan bahwa terdapat kenaikan harga Pertamax serta tingginya subsidi dari pemerintah yang memiliki hubungan dengan praktik ilegal di dalam tubuh Pertamina.[4] Penyidik dari Kejaksaan Agung juga menemukan indikasi bahwa para pelaku sengaja mengatur kebijakan untuk mengurangi produksi minyak kilang domestik sehingga impor dalam jumlah besar menjadi keharusan untuk dilakukan.[5] Padahal, seharusnya pasokan minyak mentah dalam negeri urgensi untuk diutamakan. Kejaksaan Agung kemudian menetapkan Tersangka dari PT Pertamina:
Mega korupsi tersebut patut diduga dilakukan melalui dua modus, yakni PT Pertamina International Shipping melakukan impor minyak mentah dan produk kilang serta melakukan mark up kontrak pengiriman padahal seharusnya mengutamakan pasokan dari dalam negeri serta PT Pertamina Patra Niaga mencampur bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 untuk dijual dengan harga RON 92. Akibat tindakan tersebut, Pertamina mengalami kerugian, di antaranya adalah ekspor minyak mentah yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri senilai 35 triliun rupiah, pembelian minyak mentah dan produk kilang dengan harga mark-up melalui broker yang merugikan negara hingga 11,7 triliun rupiah, serta kebijakan impor ilegal yang berkontribusi terhadap meningkatnya biaya kompensasi dan subsidi BBM yang ditanggung APBN pada 2023, dengan nilai kerugian mencapai 147 triliun rupiah.[6]
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU 40/2007”) menyebutkan bahwa:
“Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris.”
Lebih lanjut, Pasal 1 angka 6 UU 40/2007 memberikan definisi terkait Dewan Komisaris, yakni:
“Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.”
Sejalan dengan penggunaan kata “dewan”, Pasal 26A UU 1/2025 jo. Pasal 108 ayat (5) UU 40/2007 mengatur bahwa Dewan Komisaris berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang atau lebih. Dalam penjelasan pasal a quo, Dewan Komisaris tersebut terdiri atas komisaris utama dan/atau komisaris lainnya sesuai dengan kebutuhan. Dengan susunannya yang bersifat kolektif, Dewan Komisaris tersebut merupakan majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris sesuai dengan Pasal 26A ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU 1/2025”) jo. Pasal 108 ayat (4) UU 40/2007.
Dengan itu, dapat disimpulkan bahwa Komisaris Utama merupakan bagian dari Dewan Komisaris yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi PT Pertamina (Persero). Namun, dalam bertindak, Komisaris Utama tidak dapat melakukannya secara individu/sendiri, melainkan harus berdasar pada keputusan Dewan Komisaris.
Tugas, wewenang, dan kewajiban Komisaris Utama di PT Pertamina (Persero) diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam hal tugas dan wewenang, Pasal 27F ayat (1) UU 1/2025 jo. Pasal 108 ayat (1) UU 40/2007 mengatur bahwa:
“Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Persero maupun usaha Persero, dan memberi nasihat kepada Direksi Persero.”
Dalam hal ini, Komisaris Utama dituntut untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan pengurusan PT Pertamina (Persero), pelaksanaan pengurusan PT Pertamina (Persero), serta memberikan nasihat kepada direksi PT Pertamina (Persero). Tidak hanya itu, Komisaris Utama juga memiliki kewajiban yang diatur dalam Pasal 27F ayat (3) UU 1/2025 sebagai berikut:
“Dewan Komisaris dalam melakukan tugas pengawasan wajib untuk:
Menilik dari kedua ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa sejatinya tugas tanggung jawab utama Komisaris Utama yang merupakan bagian dari Dewan Komisaris adalah melakukan pengawasan serta memberikan nasihat kepada direksi. Hal tersebut semata-mata ditujukan untuk kepentingan dan kemanfaatan Pertamina. Oleh karena itu, Pasal 27F ayat (1) dan 27F ayat (3) UU 1/2025 memberikan tugas dan kewajiban kepada Dewan Komisaris untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengurusan Pertamina.
Dalam menjalankan kewenangan pengawasannya tersebut, Komisaris Utama wajib untuk mengikuti perkembangan kegiatan serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam melaksanakan pengurusan Pertamina, baik kepada holding company maupunsub-holding company. Melihat rentang waktu terjadinya korupsi yang mencapai 5 tahun, seharusnya Komisaris Utama mampu untuk mencegah maupun menanggulangi kejadian tersebut karena mengemban kewajiban untuk mengikuti perkembangan pengurusan Pertamina serta memberikan nasihat kepada direksi, khususnya ketika direksi memutuskan untuk melakukan impor minyak yang bertentangan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2021 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri (“Permen ESDM 18/2021”) jo.Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri (“Permen ESDM 42/2018”).
Pada sisi lain, penting untuk menggarisbawahi bahwa Pasal 14 ayat (4) Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-3/MBU/03/2023 Tahun 2023 tentang Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara tentang Organ dan Sumber Daya Manusia Badan Usaha Milik Negara (Permen BUMN PER-3/MBU/03/2023”) menyebutkan bahwa dalam melaksanakan pengawasan, Dewan Komisaris dilarang ikut serta dalam pengambilan keputusan kegiatan operasional sehingga Komisaris Utama memang dilarang untuk ikut campur dalam kegiatan operasional dan pengambilan keputusan kegiatan operasional di Pertamina, baik dalam holding company maupun sub-holding company kecuali ditetapkan dalam anggaran dasar BUMN atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, Pasal 66 UU 40/2007 menyebutkan bahwa Dewan Komisaris wajib menelaah laporan tahunan dari Direksi yang memuat setidaknya:
Pasal a quo memberikan justifikasi bahwa sejatinya Komisaris Utama seharusnya mampu ‘mengendus’ anomali yang terjadi melalui modus-modus yang dilakukan oleh jajaran Direksi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) selama 5 tahun berturut-turut tersebut melalui kegiatan telaah laporan tahunan yang memuat beragam pembukuan penting dan krusial bagi pelaksanaan pengurusan Pertamina. Tidak hanya itu, Pasal 57 ayat (1) Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-2/MBU/03/2023 Tahun 2023 tentang Pedoman Tata Kelola dan Kegiatan Korporasi Signifikan Badan Usaha Milik Negara (“Permen BUMN PER-2/MBU/03/2023”) menyebutkan bahwa Dewan Komisaris memiliki fungsi Manajemen Risiko, Audit Intern, dan Tata Kelola Terintegrasi.
Dalam hal manajemen risiko, Pasal 57 ayat (2) Permen BUMN a quo memberikan kewajiban kepada Komisaris Utama untuk melakukan:
Dalam hal tata kelola terintegrasi, Pasal 57 ayat (4) Permen BUMN a quo memberikan kewajiban kepada Komisaris Utama untuk melakukan:
Melalui kewajiban Dewan Komisaris tersebut, Komisaris Utama seharusnya mampu untuk:
Terkait pertanggungjawaban Dewan Komisaris ketika terjadi kerugian, Pasal 59 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara (“Perpres 23/2022”) jo. Pasal 114 ayat (3) UU 40/2007 menyebutkan bahwa:
“Komisaris dan Dewan Pengawas bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian BUMN apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.”
Pasal a quo memberikan beban pertanggungjawaban kepada Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) dalam kasus korupsi yang terjadi di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS). Dalam hal Komisaris Utama terbukti bersalah maupun tidak menjalankan tugas serta kewajibannya, Komisaris Utama dapat dituntut untuk turut serta bertanggung jawab secara pribadi dalam kasus korupsi tersebut.
Hal ini sejalan dengan doktrin piercing the corporate veil atau lifting the corporate veil atau going the behind the corporate veil atau menyingkap tabir perusahaan yang mengandung makna bahwa tanggung jawab hukum tidak hanya dapat dimintakan kepada perseroan, tetapi dapat juga dimintakan tanggung jawabnya kepada pihak lain “yang bersembunyi” dibalik tabir perseroan tersebut, salah satunya adalah Dewan Komisaris sebagai Organ Perseroan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Munir Fuady yang pada pokoknya menyatakan bahwa teori tersebut memberikan pembebanan tanggungjawab kepada para pemegang saham, direksi atau komisaris.[7]
Namun, dalam hal Komisaris Utama telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan PT Pertamina (Persero) dan sesuai dengan tujuan PT Pertamina (Persero), tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan direksi yang mengakibatkan kerugian, serta telah memberikan nasihat kepada direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut, Komisaris Utama tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian yang terjadi akibat kasus korupsi a quo. Hal ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 9F ayat (2) UU 1/2025jo. Pasal 114 ayat (5) UU 40/2007.
Disclaimer
Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.
Penutup
Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai Legal Brief ini, silakan menghubungi kami di: