Kirana Two Office Tower 10th Floor Unit A - 14250, Jakarta
Dasar Hukum :
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) 4. Perpres Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan 5. Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG) 6. Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Bahwa Pasal 32 ayat 1 PP 24/1997 berbunyi sebagai berikut :
Sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur hak-hak perempuan pascaperceraian. Pasal 41 huruf (c) UU Perkawinan mengatur hak-hak perempuan setelah terjadi perceraian. Pasal tersebut memberikan kewajiban terhadap suami di mana suami harus menjamin keperluan hidup bagi mantan istri. Selain diatur di dalam UU Perkawinan, hak-hak perempuan juga diatur didalam KHI khususnya Bab XVII.
Pasal 144 (KHI) menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena adanya talak dari suami atau gugatan perceraian yang dilakukan oleh isteri, perceraian tersebut hanya dapat dilakukan atas dasar putusan hakim dalam sidang Pengadilan Agama. Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban kepada mantan isterinya.Kewajiban dari mantan suami yangberupa mut’ah, nafkah iddah dan nafkah untuk anak-anak.Dalam hal ini walaupun tidak adanya suatu tuntutan dari isteri majelis hakim dapat menghukum mantan suami membayar kepada mantan isteri berupa nafkah mut’ah, nafkah iddah dan nafkah anak.
KHI mengatur kewajiban bekas suami pascaperceraian yang harus ditunaikan, di mana hal tersebut merupakan hak-hak perempuan sebagai bekas istri. Beberapa hak-hak perempuan pascaperceraian diatur di dalam Pasal 149 KHI, di mana hak-hak perempuan pasca perceraian antara lain:
Selain hal tersebut, perempuan juga memiliki hak atas harta bersama sebagaimana diatur di dalam Pasal 96 dan 97 KHI yang menyatakan bahwa apabila perempuan sebagai pasangan yang hidup lebih lama maka ia berhak atas separuh harta bersama dalam hal cerai mati serta perempuan berhak atas seperdua dari harta bersama. Berdasarkan hak-hak perempuan pascaperceraian tersebut di atas, Pengadilan memiliki wewenang untuk menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh bekas suami serta hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-rabang yang menjadi hak bersama maupun barang-barang yang menjadi hak perempuan pasca perceraian. Pengadilan melaksanakan wewenang tersebut berdasarkan permohonan yang dapat diajukan oleh pihak istri. Hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan (PP No. 9 Tahun 1975)
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pada awalnya tidaklah dianggap sebagai pelanggaran hak asasi perempuan. Letaknya pada ranah domestik menjadikan KDRT sebagai jenis kejahatan yang sering tidak tersentuh hukum. Ketika ada pelaporan KDRT kepada pihak yang berwajib, maka biasanya cukup dijawab dengan selesaikan dengan kekeluargaan. Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), korban tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai.
Kasus KDRT, sebelum keluarnya UU PKDRT selalu diidentikan sebagai sesuatu yang bersifat domestik, karenanya membicarakan adanya KDRT dalam sebuah keluarga adalah aib bagi keluarga yang bersangkutan. Sehingga penegakan hukum terhadap kasus KDRT pun masih sedikit. Penegakan hukum yang minim terhadap kasus KDRT diakibatkan beberapa hal, diantaranya pemahaman terhadap akar permasalahan KDRT itu sendiri baik dari perspekti hukum, agama maupun budaya. Untuk itu upaya diseminasi hak asasi perempuan harus dilakukan secara efektif untuk mengurangi jumlah korban yang jatuh akibat KDRT. Potret budaya bangsa Indonesia yang masih patriarkhis, sangat tidak menguntungkan posisi perempuan korban kekerasan. Seringkali perempuan korban kekerasan disalahkan (atau ikut disalahkan) atas kekerasan yang dilakukan pelaku (laki-laki). Misalnya, isteri korban KDRT oleh suaminya disalahkan dengan anggapan bahwa KDRT yang dilakukan suami korban adalah akibat perlakuannya yang salah kepada suaminya.
Stigma korban terkait perlakuan (atau pelayanan) kepada suami ini telah menempatkan korban seolah seburuk pelaku kejahatan itu sendiri. Dengan demikian dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Dengan ditetapkannya Undang-Undang PKDRT, permasalahan KDRT yang sebelumnya dianggap sebagai masalah domestik diangkat ke ranah publik, sehingga perlindungan hak korban mendapat payung hukum yang jelas. Menurut Pasal 2 Undang-Undang PKDRT, Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini tidak hanya meliputi suami, isteri, dan anak, melainkan juga orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dan menetap dalam rumah tangga serta orang yang membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut . Asas PKDRT sendiri seperti dijelaskan dalam Pasal 3 adalah untuk: (1) penghormatan hak asasi manusia; (2) keadilan dan kesetaraan gender; (3) nondiskriminasi; dan (4) perlindungan korban. Adapun tujuan PKDRT sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 adalah untuk: (1) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (2) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (3) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; (5) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Adapun Hak-Hak Korban menurut Pasal 10 UU PKDRT, antara lain:
Kekerasan terhadap perempuan, secara lebih spesifik sering dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender. Hal ini disebabkan kekerasan terhadap perempuan seringkali diakibatkan oleh ketimpangan gender, yaitu dengan adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Hal ini antara lain dapat terefleksikan dari kekerasan dalam rumah tangga yang lebih sering dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan lebih kepada korban yang lebih lemah. Kekerasan berbasis gender juga terlihat pada kasus perkosaan yang lebih sering dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan daripada sebaliknya. Kekerasan berbasis gender ini memberikan penekanan khusus pada akar permasalahan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, yaitu bahwa diantara pelaku dan korbannya terdapat relasi gender dimana dalam posisi dan perannya tersebut pelaku mengendalikan dan korban adalah orang yang dikendalikan melalui tindakan kekerasan tersebut. Inilah yang dimaksud dengan ketimpangan historis dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 1993. Kekerasan berbasis gender ini sebenarnya tidak hanya difokuskan kepada perempuan sebagai korban, namun juga kepada pelayan laki-laki, supir laki-laki atau bawahan laki-laki lainnya. Karena dasar dari kekerasan berbasis gender ini adalah ketimpangan relasi kekuasaan, maka yang menjadi penekanan adalah kekerasan yang dilakukan kepada pihak yang tersubordinasi kedudukannya4. Adapun penyebab yang menjadi asumsi terjadinya kekerasan terhadap perempuan diantaranya:
Kekurangan dari undang-undang ini adalah lingkup pengaturan yang dibatasi hanya dalam cakupan domestik, yaitu mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan atau berada dalam satu domisili yang sama, sehingga tidak dapat diberlakukan kepada korban yang tidak memenuhi kategori lingkup domestik tersebut. Karenanya sulit untuk mengatakan bahwa secara umum semua bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi maupun kekerasan seksual (terutama terhadap korban perempuan) sudah mendapat pengaturan di dalam hukum pidana Indonesia. Meskipun demikian, dalam pandangan yang progresif, hakim dapat mempertimbangkan diaturnya jenis-jenis kekerasan tersebut di dalam UU PKDRT dari perspektif perlindungan terhadap korban kekerasan, sebagai salah satu acuan dalam memutus suatu perkara kekerasan terhadap perempuan.
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
adapun hak-hak korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (terhusus perempuan) yang diatur didalam Pasal, antara lain:
Pasal 44 (1)
Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang berhak memperoleh kerahasiaan identitas. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan juga kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua, apabila keluarga saksi dan/atau korban mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan saksi dan/atau korban.
Pasal 45
(1)Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan ruang pelayanan khusus dan tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban diatur dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 46
(1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pada setiap kabupaten/kota dapat dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 47
Dalam hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya mendapatkan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
Pasal 48
(1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.
(2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas: a. kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. penderitaan; c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
(3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang.
(4) Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.
(5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.
(6) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.
Pasal 49
Pasal 50
Pasal 51
Pasal 52
Pasal 53
Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan.
Pasal 54
Pasal 55
Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini juga berhak mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain.
4. Menurut Perpres Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Pembentukan Komnas Perempuan berdasarkan Pasal 1 Perpres Nomor 65 Tahun 2005 adalah, “Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan serta penghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan” Adapun tujuan dari Komnas Perempuan sesuai Pasal 2 adalah untuk:
Mengacu pada mandat Perpres Nomor 65 Tahun 2005 maupun Rencana Strategis Komnas Perempuan 2007-2009, kelima subkomisi serta perangkat kelembagaan lainnya Kesekjenan, Dewan Kelembagaan, Gugus Kerja dan Panitia Ad Hoc) telah melaksanakan program & kegiatan yang mencakup enam (6) area atau isu utama, yaitu: (1) Pemantauan & pelaporan HAM perempuan; (2) Penguatan penegak hukum & mekanisme HAM nasional; (3) Negara, agama dan HAM perempuan; (4) Mekanisme HAM internasional; (5) Peningkatan partisipasi masyarakat; dan (6) Kelembagaan.
Berdasarkan Tugas dari Komnas HAM menurut Pasal 4 Undang-Undang ini bahwa korban (khususnya perempuan) mendapatkan hak-hak atas kekerasan yang terjadi terhadapnya, yaitu berupa upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, mendapatkan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan.
5. Menurut Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG)
Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG) seluruh sendi kehidupan bernegara. Dalam konsideran Inpres ini disebutkan dua hal, yaitu:
Inpres ini menjadi dasar adanya berperspektif gender bagi seluruh kebijakan dan program pembangunan nasional, tanpa kecuali. Baik kebijakan di pusat maupun di daerah haruslah berperspektif gender, apabila tidak maka kebijakan tersebut harus diganti.
6. Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Menurut Pasal 4 Undang-Undang ini mengatakan bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:
Kemudian pada Pasal 2 Undang-undang ini menyebutkan bahwa Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap Anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban, pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Didalam Undang-Undang ini terdapat hak-hak korban terhadap Kekerasan Seksual yang sebagaimana diatur didalam Pasal 66-Pasal 70 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, antara lain:
PASAL 66
PASAL 67
PASAL 68
Hak Korban atas Penanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a meliputi:
PASAL 69
Hak Korban atas Pelindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf b meliputi:
PASAL 70
2) Pemulihan sebelum dan selama proses peradilan meliputi:
VII. Disclaimer
Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.
VIII. Penutup
Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di :