Kirana Two Office Tower 10th Floor Unit A - 14250, Jakarta
Pengadaan barang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk program digitalisasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya oleh Kemendikbudristek, secara prinsip diarahkan untuk mendukung Produk Dalam Negeri (PDN). Dukungan terhadap PDN ini tidak hanya menjadi bagian dari kebijakan sektoral di bidang pendidikan, tetapi juga merupakan implementasi nyata dari strategi nasional untuk memperkuat kemandirian industri lokal, meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, serta menciptakan lapangan kerja dan inovasi teknologi yang berkelanjutan. Dengan memprioritaskan penggunaan barang-barang hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan, pemerintah berharap sektor pendidikan dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan industri TIK nasional, sehingga mendorong kita menjadi bangsa yang tidak hanya sebagai pengguna, tetapi juga sebagai produsen dan inovator di bidang teknologi.
Lebih lanjut, jika ditinjau berdasarkan tujuannya, terlihat dalam Lampiran X Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Petunjuk Operasional Dana Alokasi Khusus Fisik Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2021 yang menyatakan sebagai berikut:
“Pengadaan peralatan TIK dan media pendidikan subbidang SD, SMP, SMA, SMK, SKB dan PKBM bertujuan:
Kemudian, dalam Lampiran tersebut, disebutkan juga terdapat spesifikasi khusus yang harus dipenuhi oleh penyedia sebagai berikut:
“Perangkat komputer berupa laptop dengan spesifikasi minimal:
Dengan spesifikasi tersebut, Kemendikbudristek menggunakan skema e-purchasing melalui e-Katalog LKPP dengan mensyaratkan pemenuhan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Berdasarkan asesmen resmi dari Kementerian Perindustrian, hanya terdapat enam penyedia yang memenuhi syarat TKDN dan telah terdaftar dalam sistem e-Katalog, yaitu:[1]
Penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan laptop oleh Kemendikbudristek sejatinya telah berada dalam kerangka hukum yang jelas dalam Pasal 66 ayat (1) Perpres 12/2021 sebagai berikut:
“Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah/Institusi Lainnya wajib menggunakan Produk Dalam Negeri, termasuk rancang bangun dan perekayasaan nasional.”
Lebih lanjut, Pasal 66 ayat (2) Perpres 12/2021 yang berlaku pada Februari 2021 juga secara tegas mewajibkan instansi pemerintah untuk menggunakan produk dalam negeri, khususnya produk industri, dengan prioritas pada barang yang memiliki nilai TKDN paling sedikit 25% dan penjumlahan nilai TKDN dan BMP paling sedikit 40%. Apabila produk dengan ambang batas tersebut tidak tersedia atau volumenya tidak mencukupi, pemerintah tetap diarahkan untuk menggunakan produk dalam negeri dengan jenjang prioritas tertentu. Berikut kami kutip Pasal 66 ayat (2) Perpres 12/2021:
“Kewajiban penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila terdapat produk dalam negeri yang memiliki penjumlahan nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) ditambah nilai Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) paling sedikit 40 (empat puluh persen).”
Tidak hanya itu, Pasal 66 ayat (3a) Perpres 12/2021 menegaskan sebagai berikut:
“Kewajiban penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada tahap Perencanaan Pengadaan, Persiapan Pengadaan, atau Pemilihan Penyedia.”
Namun, implementasi tersebut tetap perlu dikritisi secara kontekstual. Meskipun produk yang dipilih berasal dari penyedia dalam negeri, fakta bahwa spesifikasi teknis yang ditentukan dalam pengadaan hanya dapat dipenuhi oleh segelintir pelaku industri menimbulkan dugaan terbatasnya persaingan usaha sehingga pilihan penyedia menjadi sangat sempit. Jika sejak awal pada tahap perencanaan dan pemilihan penyedia tidak dilakukan secara terbuka dan inklusif, penggunaan produk dalam negeri tersebut berpotensi tidak optimal. Pada sisi lain, pengadaan produk impor memang diperbolehkan jika produk serupa belum dapat diproduksi di dalam negeri atau kapasitas produksinya tidak mencukupi sebagaimana dalam Pasal 66 ayat (5) Perpres 12/2021 sebagai berikut:
“Pengadaan barang impor dapat dilakukan, dalam hal:
Akan tetapi, dalam hal ini karena terdapat penyedia dalam negeri yang mampu memenuhi spesifikasi dan kuota, alasan pengadaan impor menjadi tidak relevan. Artinya, penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan ini wajib hukumnya. Meskipun demikian, implementasi kewajiban tersebut tidak boleh dijalankan secara formalitas semata tanpa memperhatikan prinsip-prinsip pengadaan yang lain, seperti efisiensi, transparansi, dan persaingan usaha yang sehat.
Fakta bahwa hanya segelintir penyedia dalam negeri yang mampu memenuhi spesifikasi yang ditentukan dalam e-Katalog, dapat menimbulkan kesan adanya desain pengadaan yang tidak inklusif dan berpotensi membatasi partisipasi pelaku usaha lain. Hal ini perlu diwaspadai karena meskipun barang yang digunakan berasal dari dalam negeri, jika proses pemilihannya tidak mengedepankan prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa oleh pemerintah, tujuan utama dari pengadaan, yaitu memperoleh barang dengan kualitas terbaik, harga yang wajar, dan mendorong pertumbuhan industri dalam negeri secara merata tidak akan tercapai secara utuh. Dengan kata lain, keberpihakan terhadap produk dalam negeri harus dijalankan secara holistik, tidak hanya berdasarkan asal barang, tetapi juga dalam proses pengadaannya agar tetap menjunjung prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa oleh pemerintah.
Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.
Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai Legal Brief ini, silakan menghubungi kami di: