Kirana Two Office Tower 10th Floor Unit A - 14250, Jakarta
Sengketa tanah yang telah diputus dan dieksekusi berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sejatinya tidak dapat digugat kembali dengan objek dan dasar yang sama. Namun dalam praktik, masih kerap terjadi pengajuan gugatan baru oleh pihak lawan, bahkan setelah bertahun-tahun, yang kemudian melahirkan putusan berbeda dan berpotensi menimbulkan konflik hukum. Situasi ini jelas bertentangan dengan asas ne bis in idem, yaitu larangan memutus kembali perkara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dengan objek, pihak, dan dasar gugatan yang sama.
Asas ne bis in idem diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata dan dipertegas melalui Lampiran SEMA No. 7 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa suatu perkara tetap dapat dianggap ne bis in idem meskipun terjadi sedikit perbedaan pihak, selama secara prinsip objek dan pokok perkara sama serta telah ditentukan status hukumnya dalam putusan sebelumnya. Sejumlah yurisprudensi Mahkamah Agung juga konsisten menegaskan bahwa gugatan yang melanggar asas ini harus dinyatakan tidak dapat diterima (NO) karena cacat secara formal, bukan diperiksa pokok perkaranya.
Dalam konteks dua putusan yang saling bertentangan, langkah hukum yang dapat ditempuh antara lain banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK), tergantung pada tingkat putusan yang dijatuhkan. Selain itu, penting dipahami bahwa putusan yang tidak memuat perintah eksekusi bersifat declaratoir atau constitutief, sehingga tidak dapat dilaksanakan secara paksa. Hanya putusan condemnatoir yang memiliki kekuatan eksekutorial dan dapat dimohonkan pelaksanaan melalui mekanisme eksekusi pengadilan.
Melalui artikel ini, S&P Law Office menegaskan pentingnya pemahaman masyarakat terhadap asas ne bis in idem sebagai pilar kepastian hukum dalam sengketa pertanahan. Perlindungan hak atas tanah tidak hanya bergantung pada kekuatan dokumen, tetapi juga pada ketepatan strategi hukum yang digunakan.