Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional, menjadi sebuah perdebatan beberapa tahun yang lalu. Lalu apakah Covid-19 dapat dikategorikan sebagai force majeure dan apakah kontrak bisa dibatalkan? Mayoritas pakar hukum perdata tidak sepakat akan adanya pembatalan kontrak, mengingat hambatan pelaksanaan prestasi karena pandemi dipandang hanya bersifat sementara saja. (law.uii.ac.id)
Meskipun Keppres No. 12 Tahun 2020 menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional, hal ini tidak secara otomatis menjadikan Covid-19 sebagai alasan untuk pembatalan kontrak. Sebagaimana yang dikutip dari hukumonline.com, menurut Menko Polhukam, Bapak Mahfud MD, Covid-19 tidak boleh menyebabkan pembatalan kontrak, melainkan hanya menunda pelaksanaannya. Berbagai kerugian yang dialami antar para pihak bisa dirumuskan melalui negosiasi ulang (renegosiasi).
Terdapat 2 (dua) kategori dari force majeure, yaitu force majeure absolut (implikasi pembatalan) dan force majeure relatif (implikasi penundaan). Meskipun mayoritas berpandangan Covid-19 merupakan bagian dari force majeure relatif, pandangan pakar hukum dapat berbeda. Namun, Keppres No. 12 Tahun 2020 tidak secara langsung menghalangi debitur dalam melaksanakan kontrak. Oleh karena itu, penilaian hakim dalam perkara yang sudah masuk ke persidangan akan sangat bergantung pada interpretasi hukum dan fakta yang ada.
Dengan memperhatikan sudut pandang Keppres No. 12 Tahun 2020 dan Pasal 1245 KUHPerdata, penting untuk menekankan bahwa Covid-19 tidak secara otomatis menjadi alasan untuk pembatalan kontrak. Lebih lanjut, negosiasi dianggap sebagai kunci dalam menangani hambatan akibat Covid-19, sementara kontrak tetap harus dilaksanakan sesuai dengan isinya, sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata (BW), yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya (pacta sunt servanda).
Force Majeure Menurut Pasal 1245 KUHPerdata
Pasal 1245 KUHPerdata mengatur bahwa penggantian biaya kerugian dan bunga dapat dimaafkan apabila terjadi suatu keadaan yang memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. Force majeure merupakan suatu halangan di mana salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan untuk menghindari halangan itu walaupun sudah melakukan upaya terbaik. Unsur lain yang mendukung terjadinya force majeure, pihak tersebut tidak pernah bisa memprediksi kapan terjadinya halangan, serta ia tidak memiliki contributory factor atas terjadinya halangan itu.
Menurut beberapa pakar dan praktisi, Pasal 1245 KUHPerdata dapat dijadikan landasan hukum penerapan force majeure bahkan sekalipun klausa force majeure belum diatur dalam kontrak yang disepakati. (law.uii.ac.id). Kondisi force majeure disebut pada prinsipnya bukanlah semata-mata keadaan yang terjadi demi kontrak, melainkan terjadi demi hukum. Oleh karena itu, meskipun para pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis tidak pernah memperjanjikan kondisi pandemi sebagai bagian dari force majeure, pembebasan itu semestinya tetap berlaku berdasarkan Pasal 1245 KUHPerdata.
Persyaratan Force Majeure Menurut Pasal 1245 KUHPerdata:
- Adanya Keadaan memaksa (overmacht) atau keadaan yang tidak disengaja yang menghalangi si berhutang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang
- Adanya iktikad baik dari pihak yang terkena dampaknya.
- Dasar-dasar force majeure telah diatur di dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata.
Asas Iktikad Baik
Pasal 1338 KUHPerdata mengatur bahwa dalam membuat suatu perjanjian, para pihak harus berpegang pada asas iktikad baik. Hal ini berarti bahwa para pihak harus saling menghormati dan mempertimbangkan kepentingan masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut.
Dalam konteks force majeure, jika terjadi peristiwa kahar yang tidak terduga dan tidak terdapat klausul force majeure dalam kontrak, maka para pihak harus melakukan renegosiasi kontrak berdasarkan asas iktikad baik. Renegosiasi dapat dilakukan dalam bentuk rescheduling (penjadwalan ulang), restructuring (restrukturisasi), atau reconditioning (rekondisi). Jika para pihak sepakat, hasil renegosiasi dapat dituangkan dalam addendum.
Namun, jika tidak tercapai kesepakatan saat hendak mencantumkan klausul force majeure pandemi (post-factum), sengketa mungkin tidak terelakkan. Oleh karena itu, penting bagi para pihak untuk mengambil langkah preventif dalam setiap perancangan kontrak, yakni dengan memasukkan klausul kontrak “include but not limited to” (termasuk namun tidak terbatas pada) untuk mempermudah penyelesaian persoalan yang tidak terduga namun dihadapi di masa depan, utamanya terkait penentuan kondisi kahar.
Menurut Pakar Hukum, Edy Lisdiyono, akibat hukum dari peristiwa force majeure terdiri dari tiga bagian. Pertama, kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasinya. Kedua, debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai dan tidak wajib memenuhi kewajibannya. Ketiga, risiko kreditur tidak beralih kepada debiturnya. Oleh karena itu, jika terjadi peristiwa force majeure, maka para pihak harus melakukan renegosiasi kontrak berdasarkan asas iktikad baik.
Force Majeure Absolut atau Force Majeure Relatif?
Dalam kondisi absolut, perikatan menjadi batal lantaran hambatan yang terjadi bersifat permanen, sehingga memang betul-betul tidak memungkinkan prestasi bisa dilakukan.
Dalam Force Majeure relatif, masih ada kemungkinan para pihak untuk bisa melaksanakan hak dan kewajibannya lantaran hambatan yang terjadi sifatnya hanya temporary atau sementara saja. Dengan begitu, force majeure relatif tidak menyebabkan perjanjian batal, melainkan hanya sebatas ditangguhkan. Namun, dalam force majeure, prestasi harus terhalang dan tidak bisa dilaksanakan, karena konsep force majeure sendiri adalah all or nothing.
Artinya, selama suatu prestasi masih mungkin dilaksanakan, kendati sangat sulit dan memberatkan maka tidak bisa dikatakan force majeure. Untuk kondisi ini, doktrin hardship atau rebus sic stantibus (keadaan sulit/perubahan keadaan) seharusnya bisa diterapkan. Meskipun demikian, hukum Indonesia tidak mengenal adanya hardship atau rebus sic stantibus, KUHPerdata hanya mengenal istilah force majeure. Oleh karena itu, sistem penilaiannya harus dilakukan secara case by case, tidak bisa disamaratakan.
Disclaimer
Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.
Dasar Hukum
- Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020
- Pasal 1245 KUHPerdata
- Pasal 1338 KUHPerdata
Penutup
Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di:
- Timoty Ezra Simanjuntak, SH.MH.IPC.CPM.CRA.CLA.CCCS. – Founder and Managing Partner – ezra@simanjuntaklaw.co.id
Godfrid Hamonangan Simatupang, S.H. – Associate – office@simanjuntaklaw.co.id / info.simanjuntakandpartners@gmail.com