Perdebatan publik di Indonesia mengenai pengendalian zat adiktif, terutama terkait dengan produk tembakau, telah menjadi topik yang penting dalam kebijakan kesehatan masyarakat. Pada tahun 2003, FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) disahkan untuk mengendalikan produk tembakau yang dianggap berbahaya bagi kesehatan. Di tahun 2009, Indonesia menyatakan tembakau sebagai bahan yang mengandung zat adiktif yang berbahaya bagi kesehatan.
Konsumsi rokok di Indonesia terus mengalami peningkatan yang signifikan, yang berdampak pada kesehatan masyarakat, termasuk meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular. Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif, termasuk produk tembakau, juga menjadi bagian dari upaya pengendalian zat adiktif bagi kesehatan masyarakat.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 17 tahun 2023 tentang Kesehatan sejak 8 Agustus 2023, pemerintah telah menyiapkan Rancangan Peraturan Pelaksanaan (RPP) UU 17/2023. RPP ini mencakup 1166 Pasal dalam 13 bab yang melibatkan berbagai aspek, termasuk upaya kesehatan, pengelolaan tenaga medis, fasilitas pelayanan kesehatan, kefarmasian, sistem informasi kesehatan, dan lainnya. Meskipun ada berbagai ketentuan, perhatian publik saat ini lebih terfokus pada regulasi zat adiktif dan pembatasan penjualan produk yang mengandung zat adiktif, yang menjadi sumber perdebatan terutama dalam konteks media periklanan dan industri produk tembakau.
Kerangka Dasar UU 17/2023
UU 17/2023 membentuk kerangka dasar untuk inisiatif kesehatan masyarakat di Indonesia, yang lebih rinci diatur dalam RPP UU No 17/2023. Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, bertanggung jawab merencanakan, memantau, dan menyelenggarakan berbagai inisiatif kesehatan sesuai standar tertentu. RPP UU No 17/2023 mencakup inisiatif seperti kesehatan ibu, bayi, anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia, serta aspek lain seperti gizi, penyakit menular, dan kesehatan lingkungan.
Tanggung jawab atas inisiatif kesehatan tidak hanya pada pekerja kesehatan, tetapi juga pemerintah dan masyarakat. Contoh tindakan termasuk promosi kesehatan dewasa melalui promosi gizi dan gaya hidup sehat, imunisasi, dan skrining penyakit. Pada aspek kesehatan jiwa, tindakan mencakup pola asuh positif, edukasi kesehatan mental, serta pencegahan bunuh diri. Demikian juga, dalam kesehatan kerja, pendidikan kesehatan dan upaya pencegahan penyakit di tempat kerja menjadi fokus.
Dalam RPP UU No 17/2023 juga memastikan hak setiap orang untuk mendapat pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum, yang digunakan untuk memperoleh fakta sebagai dasar dalam memberikan keterangan ahli. Dengan demikian, melalui berbagai inisiatif ini, pemerintah dan masyarakat bersama-sama berkontribusi pada kesehatan masyarakat secara menyeluruh.
Cakupan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum mencakup:
- Terhadap Orang Hidup:
- Korban kekerasan fisik.
- Korban kekerasan psikis/psikologis.
- Korban kekerasan seksual.
- Korban penelantaran.
- Korban kasus lain.
- Terhadap Orang Mati:
- Audit kematian.
- Autopsi verbal.
- Bedah mayat klinis.
- Bedah mayat forensik.
- Pemeriksaan laboratorium dan autopsi virtual pascakematian.
Bedah mayat klinis dapat dilakukan hanya dengan permintaan tertulis pasien saat hidup atau permintaan dari Dinas Kesehatan setempat dalam kasus di mana penyebab kematian berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat umum.
Penting untuk dicatat bahwa tindakan yang mengatur cabang inisiatif kesehatan masyarakat dalam RPP UU No 17/2023 akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri yang akan datang, memberikan ketentuan pelaksanaan yang lebih komprehensif. Selanjutnya, pembahasan akan beralih ke topik pengamanan zat adiktif, yang sedang menjadi sorotan dalam perdebatan publik.
Ketentuan-ketentuan terkait pengamanan zat adiktif dalam RPP UU No 17/2023 mencakup produk tembakau dan non-tembakau, seperti rokok dan rokok elektronik. Berikut adalah ringkasan kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha di industri produk:
Produksi:
- Wajib memiliki izin sesuai perundang-undangan.
- Dilarang menggunakan bahan adiktif tanpa persetujuan BPOM.
- Harus menguji kandungan nikotin, tar, dan zat lainnya dalam setiap varian produk.
- Larangan kemasan jenis produk tertentu.
- Memenuhi standar kemasan yang mencakup desain dan tulisan.
Penjualan:
- Menyertakan peringatan kesehatan dalam gambar di kemasan produk.
- Larangan menjual melalui mesin layan diri, kepada anak di bawah 18 tahun dan wanita hamil.
- Batasan penjualan secara eceran dan penggunaan media elektronik.
- Informasi yang mencakup indikasi kandungan zat yang terkandung dan pernyataan terkait keamanan.
Promosi dan Periklanan:
- Memenuhi ketentuan periklanan tertentu.
- Larangan mencantumkan harga, gambar anak, remaja, wanita hamil, karakter kartun, atau animasi.
- Batasan penempatan iklan di media cetak.
- Batasan waktu iklan televisi dan radio.
- Larangan beriklan di media luar ruang, situs, aplikasi elektronik, media sosial, atau tempat penjualan.
- Larangan promosi dan sponsor dalam berbagai kegiatan sosial, pendidikan, olahraga, musik, kepemudaan, kebudayaan, atau publik.
- Larangan menyiarkan dan menggambarkan rokok, asap, kemasan, atau unsur terkait produk dalam promosi.
Penting untuk dicatat bahwa aturan ini dapat memberikan dampak signifikan terutama dalam konteks perdebatan publik mengenai zat adiktif.
Perdebatan publik mengenai RPP UU No 17/2023, terutama terfokus pada ketentuan yang mengatur pengamanan zat adiktif. Beberapa pihak, seperti M. Yahya Zaini dari Komisi IX DPR, menyatakan kekhawatiran terkait dampak dari ketentuan tersebut, terutama terkait dengan legalitas produk tembakau dan potensi beban yang lebih berat bagi pihak-pihak terkait. Penjual rokok eceran juga mengungkapkan kekhawatiran terkait kemungkinan dampak dari ketentuan baru ini, sementara Ketua Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS) menyatakan bahwa larangan penjualan rokok eceran dianggap tidak rasional. Di sisi lain, Direktur Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cahyani Suryandari, menegaskan bahwa RPP tidak menyamakan legalitas produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika, serta bahwa RPP tidak mengklasifikasikan produk tembakau sebagai produk yang dilarang untuk dipublikasikan dan diperjual belikan. Namun, Suryandari mengakui bahwa kekhawatiran publik perlu didiskusikan lebih lanjut untuk menentukan sampai cakupan mana ketentuan dalam RPP dapat dilaksanakan di tingkat nasional.
RPP terkait Pengelolaan Perbekalan Kesehatan
Berdasarkan RPP UU No 17/2023, terdapat ketentuan yang mengatur pengelolaan kefarmasian, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan. Salah satu aspek yang ditekankan adalah ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan untuk menjamin keadilan. Proses pengelolaan perbekalan kesehatan meliputi perencanaan, penyediaan, dan distribusi, yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun pusat. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah dapat membentuk fasilitas pengelolaan kefarmasian. Beberapa poin penting dalam RPP terkait pengelolaan perbekalan kesehatan meliputi:
- Perencanaan: Pemerintah menyusun rencana yang mengatur sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lain berdasarkan Rencana Induk Bidang Kesehatan. Rencana tersebut dilaksanakan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional. Menteri perlu menyusun daftar alat kesehatan esensial yang akan ditetapkan untuk menjamin pengendalian mutu dan pembiayaan yang memadai.
- Perbekalan: Perbekalan kesehatan disediakan sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan melalui pengadaan, hibah, dan cara lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perbekalan kesehatan harus disimpan di fasilitas yang memenuhi persyaratan dan standar yang dapat menjamin keamanan, mutu, dan khasiat perbekalan tersebut.
- Distribusi: Perbekalan kesehatan didistribusikan oleh pengelola, produsen, atau distributor produk farmasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Distribusi wajib dilaporkan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional. Pemerintah daerah dan pusat juga wajib melakukan pengendalian ketersediaan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional, untuk memastikan tidak adanya kelebihan maupun kekurangan perbekalan kesehatan.
Kategori Farmasi
Berdasarkan RPP UU No 17/2023, terdapat berbagai Kategori Farmasi yang ditetapkan untuk memastikan keamanan dan akurasi distribusi dan penggunaan obat. Kategori-kategori obat yang ditetapkan dalam RPP mencakup obat dengan resep dan obat tanpa resep.
Kategori obat dengan resep mencakup obat keras dan narkotika, yang memiliki risiko tertentu terkait penggunaannya dan berpotensi disalahgunakan. Obat dengan resep hanya dapat diserahkan kepada konsumen oleh apoteker yang bekerja di fasilitas kefarmasian berdasarkan resep dokter. Namun, obat keras tertentu dapat diberikan kepada konsumen tanpa resep dengan indikasi dan/atau jumlah terbatas.
Sementara itu, kategori obat tanpa resep mencakup obat bebas dan obat bebas terbatas. Obat bebas merupakan obat dalam bentuk dan dosis aman yang dapat diserahkan tanpa resep, dan dapat digunakan oleh masyarakat untuk mencegah, meringankan, atau mengobati gejala penyakit ringan. Sedangkan obat bebas terbatas adalah obat yang memenuhi kondisi keamanan dan khasiat tertentu yang dapat digunakan untuk pengobatan sendiri, namun dikenakan pembatasan tertentu dan disertai dengan peringatan penggunaan.
Selain itu, RPP UU No 17/2023 juga menetapkan kategori-kategori khusus untuk obat bahan alam, seperti jamu, obat herbal terstandar, fitofarmaka, dan obat bahan alam lainnya. Kategori-kategori ini mengatur obat-obatan yang bersumber dari pengetahuan tradisional Indonesia dan digunakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat, serta obat yang mengandung bahan herbal terstandar untuk tujuan kesehatan.
Perkembangan Fasilitas Kesehatan
Ada gelagat yang baik dari pemerintah melalui RPP UU No 17/2023, yakni terdapat upaya peningkatan penelitian dan pengembangan serta penguatan tata kelola rantai pasok terkait sediaan kefarmasian dan alat kesehatan. Penelitian dan pengembangan di sektor ini perlu diarahkan pada ketahanan kesehatan nasional berdasarkan kebutuhan kesehatan masyarakat, kesenjangan pasar, serta dukungan dari rencana induk pengembangan industri dan rencana induk riset nasional. Selain itu, penelitian dan pengembangan perlu memprioritaskan penggunaan bahan dalam negeri dalam produksinya.
Pemerintah akan menyediakan fasilitas yang dapat digunakan untuk melakukan penelitian dan pengembangan dalam sektor ini, seperti prioritas pengujian dan dalam rangka pendaftaran, pengurangan biaya, bimbingan teknis dalam proses pengujian dan mutu. Selain itu, pemerintah memberikan berbagai insentif untuk pelaku usaha yang beroperasi di industri sediaan farmasi dan alat kesehatan yang berkontribusi pada keseluruhan ketahanan industri. Insentif tersebut meliputi percepatan perizinan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, percepatan perizinan impor bahan dan alat tertentu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian yang belum tersedia di dalam negeri, serta insentif lainnya.
Persyaratan untuk mendapatkan insentif tersebut antara lain adalah memberikan kontribusi terhadap penurunan impor sediaan dan mampu meningkatkan ekspor nasional, menyerap tenaga kerja dengan jumlah signifikan, mengembangkan dan menjaga kelestarian sumber bahan baku, melakukan atau memberikan kontribusi pada transfer teknologi, melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi, melakukan kemitraan dengan lembaga penelitian dan pendidikan, petani, usaha mikro, kecil dan koperasi, serta melakukan kegiatan usaha yang mendukung prioritas ketahanan kesehatan nasional.
Jenis Indikator Kesehatan
Jenis indikator kesehatan dibagi menjadi indikator nasional, provinsi, dan/atau kabupaten/kota. Data dan informasi kesehatan yang tersimpan di Sistem Informasi Kesehatan dapat diperoleh dari berbagai sumber, termasuk:
- Fasilitas pelayanan kesehatan (seperti rekam medis elektronik, data pelayanan kesehatan, dan informasi kesehatan lainnya).
- Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
- Badan/lembaga yang menyelenggarakan program jaminan sosial nasional.
- Kegiatan masyarakat di luar fasilitas pelayanan kesehatan.
- Pelaporan mandiri perseorangan.
- Sumber lainnya.
Penting dicatat bahwa Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan dianggap sebagai pengendali data pribadi, sehingga wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai pelindungan data pribadi. Oleh karena itu, pemprosesan informasi dan data, termasuk data pribadi, harus dilakukan berdasarkan persetujuan pemilik data atau memenuhi dasar pemrosesan data pribadi yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan terkait pelindungan data pribadi.
Jika pemilik data tidak menyetujui pemprosesan data pribadinya melalui sistem tersebut, pemilik data harus menyampaikan pernyataan tertulis atau elektronik kepada Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan yang bersangkutan. Tabel di bawah ini merangkum proses pemrosesan data dan informasi kesehatan oleh Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam RPP UU No 17/2023:
Perlu ditekankan bahwa Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib memastikan keandalan semua sistemnya terkait dengan ketersediaan, keamanan, pemeliharaan, dan integrasi. Menteri akan memainkan peran pengawasan atas Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan yang beroperasi di wilayah Indonesia dan/atau pemprosesan data.
Penyelenggaraan Teknologi Kesehatan
Tujuan utama yang mendasari penyelenggaraan teknologi kesehatan adalah meningkatkan layanan primer, layanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pelayanan kesehatan. Pada intinya, penyelenggaraan teknologi kesehatan terdiri dari: penelitian, pengembangan, pengkajian, pelaksanaan inovasi teknologi kesehatan, penilaian teknologi kesehatan, dan pemanfaatan teknologi kesehatan.
Penelitian, Pengembangan, Pengkajian:
Kegiatan ini melibatkan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Pentingnya memahami kapan pengujian dapat dilakukan terhadap hewan, tumbuhan, mikroorganisme, dan bahan biologi, serta menggunakan manusia sebagai subjek uji dengan mematuhi kode etik, kaidah ilmiah, dan izin yang berlaku.
Penelitian dan pengembangan yang melibatkan subjek uji wajib memperoleh persetujuan etik penelitian sebelum dilaksanakan, dengan memberikan informasi yang mencakup tujuan penelitian, kerahasiaan data pribadi, metode yang digunakan, kemungkinan risiko, dan informasi relevan lainnya.
Persetujuan etik untuk pengujian pada hewan memperhatikan prinsip penggantian hewan, minimalisir jumlah hewan yang digunakan, dan perlakuan yang layak terhadap hewan. Sementara pada tumbuhan, prinsipnya adalah menjaga kelestarian sumber daya alam dan manfaat bagi kesehatan masyarakat.
Pelaksanaan Inovasi Teknologi Kesehatan:
Untuk memastikan keberlanjutan dan manfaat inovasi teknologi kesehatan, pemerintah menyediakan kebijakan uji coba terbatas (sandbox) yang mencakup mutu tata kelola, jaminan manfaat dan keamanan teknologi, perizinan, perlindungan konsumen, serta melibatkan tenaga kesehatan dan masyarakat dalam ekosistem inovasi.
Penilaian Teknologi Kesehatan:
Penilaian dilakukan berdasarkan kriteria tingkat volume, risiko, biaya, variasi, urgensi kebijakan, dampak pada akses, kualitas, dan ekesehatan masyarakat, potensi penghematan atau keterjangkauan biaya, serta penerimaan sosial penerapan teknologi kesehatan. Penilaian ini dilakukan atas permintaan Menteri, dengan pemantauan dan evaluasi produk teknologi kesehatan yang bersangkutan.
Teknologi kesehatan menjadi dukungan utama dalam proses diagnostik, pencegahan, pengobatan, peningkatan kualitas hidup, dan penanganan masalah kesehatan. Penggunaan teknologi kesehatan melibatkan Sistem Informasi Kesehatan Nasional, teknologi biomedis, dan jenis teknologi lainnya. Salah satu aspek pemanfaatan teknologi kesehatan yang mendapat sorotan adalah telekesehatan dan telemedisin, yang telah terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional. Rincian penyelenggaraan telekesehatan dan telemedisin, sebagaimana diatur oleh RPP UU No 17/2023, dapat dijelaskan dalam tabel berikut:
Meskipun beberapa area dalam RPP UU No 17/2023 masih menjadi perdebatan publik, kerangka kerja baru ini memiliki peran krusial dalam mengarahkan pemerintah, pemangku kepentingan industri kesehatan, dan masyarakat umum dalam pengembangan layanan kesehatan di seluruh Indonesia. RPP UU No 17/2023 mencakup sejumlah besar topik terkait kesehatan, mengatur berbagai aspek kesehatan, dan secara detail membahas pelaksanaan upaya dan kebijakan kesehatan. Penting untuk diingat bahwa RPP UU No 17/2023 masih dalam tahap evaluasi publik, dan pandangan masyarakat terkait isu-isu yang diatur dalam kerangka ini dapat memengaruhi revisi-revisi di masa mendatang.
Disclaimer
Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.
Dasar Hukum
- Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
- Undang-Undang No. 17 tahun 2023 tentang Kesehatan
Penutup
Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di:
- Timoty Ezra Simanjuntak, SH.MH.IPC.CPM.CRA.CLA.CCCS. – Founder and Managing Partner – ezra@simanjuntaklaw.co.id
Nico Ardianus Gultom, S.H. – Associate – office@simanjuntaklaw.co.id / info.simanjuntakandpartners@gmail.com