S&P Law Office

BAGAIMANA KONSEP DAN TAFSIR IKTIKAD BAIK DALAM HUKUM PERDATA?

S&P Law Office - Legal Brief

Unsur iktikad baik (good faith) merupakan super eminent principe atau asas terpenting dalam suatu perjanjian. Unsur iktikad baik sangat fundamental dalam suatu kontrak bisnis. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa “Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”

Namun, hingga kini tidak ada keseragaman pengertian soal iktikad baik dalam implementasi kontrak. Bahkan bila merujuk pada Pasal 1338 KUHPerdata, tidak diterangkan secara tegas apa batasan suatu kontrak disebut telah memenuhi unsur iktikad baik pada tingkatan Undang-Undang.

Di Indonesia sendiri, lebih mengedepankan kategori iktikad baik subjektif, yang berkaitan erat dengan unsur kejujuran pembeli yang tidak mengetahui adanya cacat cela dalam peralihan hak. Hal ini akan tampak pada hasil rapat-rapat pleno Mahkamah Agung (MA). Tolok ukur atau legal test yang digunakan hakim untuk menilai ada tidaknya iktikad baik dalam kontrak berbeda-beda, sehingga menimbulkan isu tersendiri terkait kepastian hukum.

Dengan adanya perbedaan penafsiran dan tolak ukur terkait iktikad baik, kami menyoroti bahwa hingga kini belum ada keseragaman pengertian tentang iktikad baik dalam implementasi kontrak. Meskipun Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik, namun tidak ada penjelasan tegas mengenai batasan suatu kontrak yang disebut telah memenuhi unsur iktikad baik pada tingkatan undang-undang.

Pengertian Iktikad Baik

Pengertian iktikad baik dalam hukum perdata dapat dibedakan menjadi dua, yaitu iktikad baik dalam arti subjektif dan iktikad baik dalam arti objektif. Iktikad baik dalam arti subyektif merupakan sikap batin atau keadaan jiwa seseorang, yang dalam bahasa Indonesia disebut kejujuran. Hal ini terkait dengan kepatutan tindakan seorang pembeli yang dipandang juga harus sesuai dengan pandangan umum masyarakat. Iktikad baik dalam arti subyektif juga menekankan aspek kejujuran pembeli yang tidak mengetahui adanya cacat cela dalam peralihan hak.

Sementara itu, iktikad baik dalam arti objektif mengacu pada pelaksanaan suatu perjanjian dengan norma-norma kepatutan dan kesusilaan yang berlaku secara umum. Konsep ini terkait dengan niat baik, ketulusan hati, dan pelaksanaan perjanjian secara jujur, terbuka, dan tulus, tanpa penipuan atau kecurangan. Dengan demikian, iktikad baik dalam hukum perdata mencakup aspek kejujuran dan kepatutan dalam perilaku dan pelaksanaan perjanjian, baik dari segi sikap batin seseorang maupun dari segi norma-norma yang berlaku secara umum.

Rapat Pleno Mahkamah Agung

Dalam SEMA No. 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan dijelaskan di butir VIII bahwa Pemegang Hak Tanggungan yang beriktikad baik harus dilindungi sekalipun kemudian diketahui bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang yang tidak berhak. Kemudian, pada butir IX dijelaskan bahwa perlindungan harus diberikan kepada pembeli yang beriktikad baik, sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak atas objek jual beli tanah.

Dari pemaparan pada paragraf sebelum ini dapat ditarik pengertian bahwa pembeli atau pengguna jasa yang beriktikad baik akan dilindungi sekalipun mendapatkan objek tersebut dari orang yang tidak berhak. Kemudian, muncul satu pertanyaan mengenai apakah orang yang tidak berhak bisa dikatakan beriktikad buruk?

Dijelaskan dalam butir IX SEMA No. 7 Tahun 2012 bahwa pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada Penjual yang tidak berhak. Terkait dengan jual beli harta waris, rapat pleno Kamar Agama dalam SEMA No. 7 Tahun 2012 menyebutkan bahwa kondisi pembeli telah mengetahui bahwa surat-surat objek sengketa bukan atas nama penjual tidak digolongkan sebagai pembeli yang beriktikad baik yang harus dilindungi.

Selain dalam SEMA No. 7 Tahun 2012 di atas, pada rapat pleno kamar perdata khusus dalam SEMA No. 1 Tahun 2017 sempat pula dibahas mengenai iktikad baik dalam gugatan pembatalan merek terkenal. Di situ dijelaskan bahwa gugatan pembatalan atas penggunaan merek terkenal secara formil dapat diterima tanpa adanya batasan waktu bila memiliki alasan adanya iktikad tidak baik.

Analisis Keputusan Pengadilan Negeri Cirebon dan Prinsip Iktikad Baik

Pengadilan Negeri Cirebon baru-baru ini mengeluarkan keputusan (Putusan Pengadilan Negeri Cirebon No. 68/Pdt.G/2015/PN.Cbn) yang mempertegas perlindungan bagi pembeli beriktikad baik dalam transaksi jual beli tanah. Keputusan tersebut mencerminkan prinsip yang diakui dalam rapat pleno Kamar Mahkamah Agung, khususnya terkait hak tanggungan dan pembeli yang memiliki itikad baik.

Dalam putusan tersebut, Penggugat berhasil membuktikan bahwa pihaknya melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam membeli objek tanah. Dengan alas hukum, bahwa tidak adanya status disita atau jaminan atau dalam hak tanggungan pada objek jual beli. Kepemilikannya pun telah sesuai dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan (“SHGB”) No. 3260/Kalijaga atas nama Tergugat I.

Putusan Pengadilan Negeri Cirebon tersebut di atas menggambarkan implementasi prinsip iktikad baik dalam transaksi jual beli tanah. Dalam kasus ini, penggugat dianggap pembeli dengan iktikad baik, dan penjualan tanah dinyatakan sah. Pengadilan memerintahkan penandatanganan akta jual beli, memberikan kuasa khusus jika tergugat menolak, serta menginstruksikan pengosongan dan penyerahan tanah dan rumah tanpa syarat.

Pentingnya asas kecermatan dan kehati-hatian oleh hakim dalam menilai kasus semacam ini menunjukkan perlunya pemeriksaan mendalam terhadap data fisik dan yuridis sebelum serta saat transaksi jual beli dilakukan. Meskipun prinsip iktikad baik memberikan perlindungan kepada pembeli, keseimbangan dengan hak pemegang objek asal benda/tanah juga harus diperhitungkan.

Dengan demikian, perlindungan bagi pembeli beriktikad baik dalam transaksi jual beli tanah memerlukan pendekatan yang cermat dan seimbang, dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan dan kehati-hatian. Keputusan Pengadilan Negeri Cirebon menjadi contoh konkret bagaimana prinsip ini diimplementasikan dalam praktek hukum. (*)

Disclaimer

Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.

Dasar Hukum

  • Pasal 1338 KUH Perdata
  • Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2012
  • Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2017
  • Putusan Pengadilan Negeri Cirebon No. 68/Pdt.G/2015/PN.Cbn

Penutup

Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di :

  • Timoty Ezra Simanjuntak, S.H., M.H., IPC., CPM., CRA., CLA., CCCS. – Managing Partner – ezra@splawoffice.co.id
  • Ahmad Zaim Yunus, S.H. – Associate – info.simanjuntakandpartners@gmail.com

About S&P Law Office

S&P are passionate about helping our clients through some of their most challenging situations. We take a practical approach to your case, and talk with you like a real person. With each and every client, we aim to not only meet, but to exceed your expectations.

Recent Post