S&P Law Office

Dampak Kelam Pernikahan Siri Terhadap Perempuan: Terselubung di Balik Kehidupan yang Tak Tercatat KUA

S&P Law Office - Legal Brief

Pengertian Pernikahan Siri

Pernikahan siri sering kali menimbulkan masalah hukum yang merugikan, terutama bagi perempuan yang menjadi pihak yang terdampak. Salah satu kerugian yang dialami adalah ketidakakuan status perkawinannya. Ketika pernikahan siri tidak diakui, dapat dikatakan bahwa pernikahan tersebut tidak sah secara hukum. Hal ini dapat menimbulkan konsekuensi serius, tidak hanya bagi istri dan suami, tetapi juga anak-anak yang dilibatkan dalam pernikahan tersebut.

 

Dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) syarat dari Perkawinan diatur dalam Buku I tentang Perkawinan (“Buku I”) pada Pasal 14, kami kutip sebagai berikut:

  • Buku I Pasal 14 KHI:

“Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:

  1. Calon suami;
  2. Calon Isteri;
  3. Wali nikah;
  4. Dua orang saksi; dan
  5. Ijab dan kabul.

 

Menurut Mahmud Hadi Riyanto dalam Artikelnya yang Berjudul Nikah Siri: Apa Hukumnya? Nikah Siri itu berasal dari 2 (dua) kata, yaitu Nikah dan Siri. Nikah secara bahasa artinya adalah berkumpul, sedangkan menurut istilah nikah adalah suatu perjanjian atau suatu akad yang membuat halal suatu persetubuhan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata nikah atau yang menunjukkan arti nikah. Sedangkan, kata siri berasal dari bahasa Arab yaitu sirri yang artinya adalah rahasia. Apabila digabungkan, maka nikah siri adalah nikah yang dilakukan secara diam-diman serta dirahasiakan (tidak ditampakkan).

 

Pengaturan Kewajiban Pernikahan Untuk Dicatatkan

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU No. 1 Tahun 1974”), diatur bahwa setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ternyata, dalam KHI juga diatur bahwa perkawinan bagi masyarakatislam harus dicatatkan demi menjamin ketertiban perkawinan, dimana pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Hal tersebut diatur dalam Buku I Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 5 ayat (1) KHI, kami kutip sebagai berikut:

  • Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974:

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

 

  • Buku I Pasal 5 ayat (1) KHI:

“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.

 

  • Buku I Pasal 5 ayat (2) KHI:

“Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang No. 32 Tahun 1954”.

 

Bahkan, dalam KHI diatur bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.  Hal tersebut diatur dalam Buku I Pasal 6 ayat (2) KHI, kami kutip sebagai berikut:

  • Buku I Pasal 6 ayat (2) KHI:

“Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”.

 

Dampak Kerugian dari Pernikahan Siri

Melansir dari Hukum Online, Ketua PA Mojokerto mengatakan bahwa dalam konteks poligami siri (pernikahan poligami tanpa pencatatan resmi), izin dari istri sah atau pengadilan diperlukan, dan tanpa izin tersebut, pernikahan semacam itu dapat dianggap melanggar Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, yang mengatur bahwa apabila seorang suami akan beristri lebih dari seorang, maka ia wajib untuk mengajukan permohonan dan harus ada syarat-syarat yang dipenuhi, kami kutip sebagai berikut:

  • Pasal 4 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974:

“Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah

tempat tinggalnya.”

 

  • Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974:

Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
  2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
  3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anak mereka.”

Rayani Saragih juga menyatakan dalam penulisannya bahwa anak yang lahir dari perkawinan siri menghadapi kesulitan dalam mendapatkan akta kelahiran.

 

Selain itu, pernikahan siri memiliki potensi-potensi yang sangat merugikan bagi pihak Perempuan maupun anak, dengan rincian sebagai berikut:

  1. Tidak terdaftar di KUA, dengan dampak bahwa pernikahan tidak diakui resmi oleh pemerintah;
  2. Rentan terhadap perceraian mudah, dimana terdapat potensi kehilangan kestabilan dan keamanan dalam hubungan, potensi dampak psikologis pada pasangan.
  3. Keterbatasan kekuatan hukum bagi anak dan istri, dimana terdapat potensi istri dan anak sulit mendapatkan hak-hak dasar.

 

Apabila ingin mendapatkan kepastian hukum, maka caranya apabila pernikahan dilakukan menurut agama islam, adalah melalui proses itsbat nikah. Hal tersebut diatur dalam Buku I Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) KHI, kami kutip sebagai berikut:

  • Pasal 7 ayat (2) Buku I KHI:

“Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama”.

 

  • Pasal 7 ayat (3) Buku I KHI:

“Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

  1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
  2. Hilangnya Akta Nikah;
  3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
  4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang no. 1 tahun 1974; dan
  5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;”

Disclaimer

Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.


Dasar Hukum

  • Kompilasi Hukum Islam.
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Penutup

Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di:

About S&P Law Office

S&P are passionate about helping our clients through some of their most challenging situations. We take a practical approach to your case, and talk with you like a real person. With each and every client, we aim to not only meet, but to exceed your expectations.

Recent Post