S&P Law Office

Kebatalan dalam Hukum Perdata, Apa Saja Syarat-Sah Perjanjian?

S&P Law Office - Legal Brief

Kebatalan dalam hukum perdata bisa diartikan sebagai dengan adanya ketidakpenuhan syarat sah perjanjian. Menurut Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (“BW”), suatu perjanjian sah jika memenuhi empat syarat: kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjian bisa dibatalkan oleh salah satu pihak. Sedangkan jika syarat objektif tidak terpenuhi, perjanjian dianggap batal demi hukum atau tidak pernah ada.

Kebatalan Mutlak dan Kebatalan Relatif

Kebatalan atas suatu perjanjian (nulitas) terbagi menjadi 2 (dua) kategori, kebatalan mutlak dan kebatalan relatif. Menurut Gunawan Widjaja dalam buku berjudul Waralaba (Cetakan Kedua) (2003:90) menjelaskan bahwa Kebatalan Mutlak adalah juka kebatalan tersebut berlaku kepada semua anggota Masyarakat (berlaku secara umum) tanpa terkecuali. Contohnya adalah ketika kontrak melanggar peraturan perundang-undangan, kesusilaan atau ketertiban umum.

Kebatalan relatif adalah suatu kebatalan yang hanya berlaku terhadap individu tertentu (tidak berlaku secara umum). Contohnya adalah ketika suatu pihak tidak memiliki kapasitas (di bawah umur, bukan pihak yang berwenang untuk membuat perjanjian) atau ketika suatu pihak tidak memberikan persetujuan secara bebas (ada pemaksaan) pada saat pembuatan kontrak.

Kebatalan dalam Peraturan dan Yurisprudensi

Dilansir dari artikel hukumonline berjudul Penjelasan Batal Demi Hukum dalam Hukum Perjanjian, selama rentang waktu tahun 1969 sampai dengan 2008, terdapat kurang lebih 17 (tujuh belas) yurisprudensi yang menyatakan atau mempertimbangkan suatu kebataan atas kontrak. Dari jumlah tersebut, sebesar 11 (sebelas) yurisprudensi menyatakan kontrak adalah batal demi hukum, sedangkan sisanya menyatakan suatu kontrak dapat dibatalkan. Selain itu, kebatalan juga diatur kurang lebih dalam 22 (dua puluh dua) Undang-Undang, 13 (tiga belas) Peraturan Pemerintah dan 4 (empat) Keputusan Presiden yang memuat kebatalan dari suatu kontrak.

Isu kebatalan dapat ditemukan dalam keputusan Mahkamah Agung, seperti dalam kasus MA Nomor 361/PK/PDT/19136 dan MA Reg. 3597 K/PDT/1985 mengenai perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali yang dibuat oleh para pihak dalam kasus tersebut, yang dinyatakan batal karena perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali tidak diakui dalam hukum adat. Penjualan dan pembelian tanah/rumah harus mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang diatur oleh hukum adat, dan hukum adat tidak mengakui bentuk penjualan dan pembelian dengan hak membeli kembali.

Perbedaan Batal Demi Hukum dan Dapat Dibatalkan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) VI Daring, batal berarti tidak berlaku, tidak sah. Pengertian ini banyak ditemukan dalam perjanjian. Dalam hukum, terdapat perbedaan pengaturan terkait dengan ketika suatu perjanjian batal demi hukum dan suatu perjanjian dapat dibatalkan.

Terkait dengan batal demi hukum, suatu perjanjian dapat dikatakan demikian apabila tidak memenuhi suatu hal tertentu (terkait dengan objek perjanjian) dan suatu sebab alasan yang halal (alasan kenapa perjanjian dibuat). Konsekuensi ketika suatu perjanjian batal demi hukum adalah suatu perjanjian dianggap tidak pernah ada tanpa perlu dimintakan pembatalannya melalui sebuah penetapan pengadilan. Dalam hal ini hukum yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak sah. Hal tersebut kembali dipertegas dalam Pasal 1337 KUH Perdata yang menentukan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusuliaan atau ketertiban umum.

Sedangkan, terkait dengan dapat dibatalkan, suatu perjanjian dapat dikatakan demikian apabila tidak memenuhi unsur dari kesepakatan para pihak dan kecakapan dalam melakukan perbuatan tertentu. Konsekuensi dari suatu perjanjian dapat dibatalkan adalah bahwa para pihak dapat membawa perjanjian tersebut ke pengadilan untuk diminta ke pengadilan untuk diminta dibatalkannya suatu perjanjian. Alasan batalnya suatu perjanjian dapat dikelompokkan ke beberapa kategori sebagai berikut:

Sehingga, berdasarkan uraian tersebut di atas, Para Pihak yang akan mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, harus dapat memastikan bahwa suatu perjanjian harus memenuhi syarat subjektif maupun syarat objektif agar suatu perjanjian tidak dinyatakan batal oleh hukum maupun dinyatakan batal oleh pengadilan dikarenakan permohonan atau gugatan dari Para Pihak. Terkait dengan hal tersebut, Para Pihak dapat melakukan konsultasi dengan lawyer yang terpercaya.


Disclaimer

Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.


Dasar Hukum

  • Burgerlijk Wetboek (“BW”)

Penutup

Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di:

About S&P Law Office

S&P are passionate about helping our clients through some of their most challenging situations. We take a practical approach to your case, and talk with you like a real person. With each and every client, we aim to not only meet, but to exceed your expectations.

Recent Post