S&P Law Office

Klasifikasi Perjanjian Dalam Hukum Perdata: Batal Demi Hukum Dan Dapat Dibatalkan

S&P Law Office - Legal Brief

Dalam kerangka teori hukum perdata, pembatalan suatu perjanjian dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama: perjanjian yang batal demi hukum dan perjanjian yang dapat dibatalkan. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) mengatur syarat sah sebuah perjanjian, dengan unsur objektif dan subjektif yang harus dipenuhi untuk keabsahan hukum. Perjanjian dapat dikategorikan Batal Demi Hukum apabila unsur objektif tidak terpenuhi, sementara perjanjian Dapat Dibatalkan jika unsur subjektif tidak terpenuhi.

Pasal 1320 KUH Perdata menegaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan empat syarat. Unsur-unsur tersebut meliputi kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak terlarang. Dengan demikian, adanya kata “sepakat” di antara pihak memang merupakan inti dari kesahihan suatu perjanjian, sesuai dengan asas konsesualisme dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 ini berlaku terhadap perjanjian jual beli secara konvensional maupun melalui elektronik.

Pasal-pasal yang disebutkan, yaitu Pasal 1321, 1322, 1323, 1324, 1325, dan 1328 KUH Perdata, mengatur kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan tidak adanya kata sepakat dan membuat perjanjian cacat, sehingga terancam kebatalan. Misalnya, Pasal 1321 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian dapat dinyatakan batal jika terdapat kekhilafan yang dilakukan salah satu pihak. Sementara Pasal 1323 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian dapat dibatalkan jika salah satu pihak melakukan penipuan terhadap pihak lain. Selain itu, Pasal 1325 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian dapat dinyatakan batal jika salah satu pihak melakukan kekerasan terhadap pihak lain. Pasal-pasal ini mengatur berbagai kondisi yang dapat menyebabkan perjanjian menjadi cacat dan dapat dibatalkan. Untuk lebih jelasnya dalam artikel ini akan menyuguhkan tabel sebagai keterangan pasal-pasal tersebut antara lain;

Pasal-pasal tersebut memberikan dasar hukum yang jelas terkait dengan kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan persetujuan menjadi batal atau dapat dibatalkan dalam konteks hukum perdata.

Cacat Kehendak dalam Hukum Perjanjian: Kekhilafan, Paksaan, dan Penipuan

Dalam Kerangka Hukum Perdata, kondisi cacat yang dapat mengakibatkan dibatalkannya sebuah perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) adalah kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), dan penipuan (bedrog). Herlien Budiono menjelaskan bahwa cacat pada kehendak terjadi ketika seseorang melakukan perbuatan hukum dengan kehendak yang tidak sempurna.

  1. Kekhilafan (Dwaling)

Kekhilafan, menurut Subekti dan Mariam Darus Badrulzaman, terjadi ketika salah satu pihak khilaf mengenai hal-hal pokok perjanjian, sifat-sifat penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, atau mengenai orang dengan siapa perjanjian itu dibuat. Jika terjadi kekhilafan, tahap berikutnya adalah risiko dari kekhilafan tersebut harus ditanggung oleh pihak yang membuat perjanjian.

  1. Paksaan (Dwang)

Paksaan, menurut Elly Erawati, adalah ketika seseorang menggunakan cara yang melawan hukum untuk menggerakkan orang lain melakukan perbuatan hukum. Ancaman terhadap kerugian pada diri sendiri, kebendaan, atau pihak ketiga dan kebendaan pihak ketiga dapat menjadi dasar paksaan. Paksaan dapat dilakukan dengan cara legal maupun ilegal.

  1. Penipuan (Bedrog)

Penipuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1328 KUH Perdata, merupakan bentuk cacat kehendak. Terjadi ketika seseorang dengan sengaja menimbulkan kesesatan pada orang lain melalui informasi palsu, menyembunyikan fakta, atau memberikan informasi keliru. Subekti menekankan bahwa penipuan terjadi ketika ada keterangan palsu atau tidak benar yang disertai akal cerdik atau tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan.

Pasal 1449 KUH Perdata menetapkan bahwa perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan, atau penipuan menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya. Artinya, perjanjian yang cacat pada kehendak pihak-pihak yang membuatnya tidak otomatis batal demi hukum, melainkan dapat dibatalkan jika ada tuntutan untuk pembatalan.

Cacat kehendak dalam perjanjian, baik karena kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, membuka pintu bagi kemungkinan pembatalan perjanjian sesuai dengan ketentuan KUH Perdata. Pemahaman yang baik terhadap aspek-aspek ini menjadi esensial dalam menjaga integritas dan keabsahan perjanjian dalam konteks hukum perdata.

Penyalahgunaan Keadaan dalam Perjanjian Hukum Indonesia dan Belanda

Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dalam perjanjian menjadi suatu aspek yang memerlukan perhatian khusus dalam hukum perdata. Dalam Konteks Belanda, pada buku ketiga Pasal 44 ayat (3) Nieuw Burgerlijk Wetboek (BW baru) mengatur bahwa perjanjian dapat dibatalkan jika salah satu pihak berada dalam keadaan darurat, terpaksa, atau jika pihak lawannya memiliki keadaan psikologis yang lebih kuat dan menyalahgunakan keadaan tersebut.

Di Indonesia, penerapan penyalahgunaan keadaan sebagai cacat kehendak didasarkan pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3431K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret 1987, yang dikenal dengan kasus buku pensiun. Penyalahgunaan keadaan terjadi ketika seseorang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain, karena keadaan khusus seperti darurat, ketergantungan, atau keadaan jiwa yang abnormal, tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum.

Syarat-syarat Penyalahgunaan Keadaan:

  1. Keadaan Istimewa: Melibatkan keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, atau ketidakberpengalamanan.
  2. Suatu Hal yang Nyata: Salah satu pihak mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa pihak lain dalam keadaan istimewa yang memengaruhi keputusannya untuk menutup perjanjian.
  3. Penyalahgunaan: Salah satu pihak melanjutkan perjanjian meskipun mengetahui atau seharusnya tahu bahwa seharusnya perjanjian tersebut tidak dilanjutkan.
  4. Hubungan Kausal: Penting bahwa tanpa penyalahgunaan keadaan tersebut, perjanjian tidak akan dilanjutkan.

Dua Kelompok Penyalahgunaan Keadaan:

  1. Keunggulan Ekonomi: Terjadi ketika satu pihak lebih unggul secara ekonomi dan pihak lain terdesak untuk menutup perjanjian tersebut.
  2. Keunggulan Psikologis: Terjadi ketika ada ketergantungan dari pihak yang lebih lemah yang disalahgunakan oleh pihak yang memiliki keunggulan psikologis.

Sebagai contoh, situasi di mana seorang pasien yang dalam keadaan berbahaya bagi hidupnya terdesak untuk membayar dokter dengan harga tinggi sebagai penyalahgunaan keunggulan ekonomi. Penyalahgunaan keadaan mencerminkan upaya hukum untuk mengatasi dan menyelesaikan praktik-praktik penyalahgunaan dalam perjanjian, menegaskan pentingnya perlindungan pihak yang lebih lemah dan mengedepankan keadilan dalam hubungan hukum perdata. (*)


Disclaimer

Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.


Dasar Hukum

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Penutup

Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di:

About S&P Law Office

S&P are passionate about helping our clients through some of their most challenging situations. We take a practical approach to your case, and talk with you like a real person. With each and every client, we aim to not only meet, but to exceed your expectations.

Recent Post