Pada hakikatnya, manusia itu merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Dalam berinteraksi satu sama lain, manusia acap kali membuat suatu perjanjian antara satu dengan lainnya. Lantas, apakah seluruh jenis perjanjian dapat dibenarkan secara hukum? Untuk menjawab hal tersebut, mari kita coba melihat perjanjian dari syarat sahnya.
Syarat Sah Perjanjian
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), syarat sah perjanjian terdapat 4 (empat) buah. Terdapat kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, kami kutip sebagai berikut:
- Pasal 1320 KUH Perdata:
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
- kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- suatu pokok persoalan tertentu;
- suatu sebab yang tidak terlarang.
Sehingga, berdasarkan penjelasan tersebut di atas, tidak semua perjanjian dapat dibenarkan secara hukum. Suatu perjanjian dianggap sah (dibenarkan secara hukum) apabila telah terpenuhinya 4 (empat) syarat tersebut. Apabila perjanjian telah dianggap sah, maka berlakulah asas pacta sunt servanda (perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, kami kutip sebagai berikut:
- Pasal 1338 KUH Perdata:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Pembahasan Syarat Sah Perjanjian.
1. Kesepakatan
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata sebagaimana dimaksud di atas, telah disinggung adanya frasa “Kesepakatan”. Maksudnya adalah dalam pembuatan perjanjian, Para Pihak harus menyepakati seluruh klausul-klausul yang berada dalam Perjanjian yang bersangkutan (terutama terkait dengan objek perjanjian, pilihan hukum dan pilihan sengketa). Dalam hukum perjanjian dikenal adanya asas konsensualisme, yaitu para pihak yang mengikatkan diri dalam Perjanjian harus setuju dan sepakat terkait dengan hal-hal yang diatur dalam Perjanjian. Pembuatan Perjanjian tidak boleh ada dwaling (kesesatan), dwang (paksaan), dan bedrog (tipuan).
2. Kecakapan
Maksud dari “kecakapan” adalah Para Pihak yang membuat suatu perjanjian harus cukup umur serta tidak di bawah suatu pengampuan. Menurut pengertian KUH Perdata, pengampuan disini diartikan apabila orang dewasa tersebut selalu berada dungu, gila atau mata gelap (meskipun terkadang cakap menggunakan pikirannya) atau juga karena keborosan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata, kami kutip sebagai berikut:
- Pasal 433 KUH Perdata:
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.”
Terkait dengan kecakapan secara umur, dalam pasal 330 KUH Perdata diatur bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun (dianggap sudah dewasa), kami kutip sebagai berikut:
- Pasal 330 KUH Perdata:
“Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.”
Dalam pasal tersebut di atas dapat dilihat bahwa meskipun mereka di bawah umur 21 (dua puluh satu) tahun, namun mereka dianggap cakap apabila pernah melangsungkan perkawinan. Menariknya, dalam perkembangan hukum positif di Indonesia diatur kembali masalah kecakapan. Contohnya adalah dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU No. 2 Tahun 2014”) diatur bahwa seseorang dapat menjadi saksi bagi setiap Akta yang dibacakan Notaris apabila salah satunya memenuhi syarat secara umur yaitu paling lambat 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah serta cakap melakukan perbuatan hukum. Kemudian, dalam Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) diatur bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Terkait dengan perbedaan umur kedewasaan, hingga saat ini para ahli sendiri belum ada kesepakatan mengenai kapan seseorang dikatakan dewasa apabila dilihat dari segi umur.
3. Suatu Pokok Persoalan Tertentu
Maksud dari Pokok persoalan tertentu itu adalah harus jelas apa yang menjadi objek perjanjian serta harus jelas apa yang menjadi barang yang dimaksud dalam perjanjian (objek perjanjian). Hal tersebut diatur dalam Pasal 1333 KUHPerdata yang mengatur bahwa semua persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang, kami kutip sebagai berikut:
- Pasal 1333 KUH Perdata:
“Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
4. Suatu Sebab Yang Tidak Terlarang
Maksudnya adalah tujuan (alasan) seseorang membuat suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Tujuan dari perjanjian itu tidak boleh palsu atau terlarang, serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUH Perdata, kami kutip sebagai berikut:
- Pasal 1335 KUH Perdata:
“Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”.
- Pasal 1337 KUH Perdata:
“Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.”
Konsekuensi Apabila Syarat Sah Perjanjian Tidak Terpenuhi
Apabila syarat sah perjanjian berupa kesepakatan maupun kecakapan tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan. Maksudnya disini adalah perjanjian tidak serta merta batal, namun perjanjian dapat dibatalkan melalui sebuah penetapan pengadilan.
Apabila syarat sah perjanjian berupa suatu hal tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang tidak terpenuhi, maka perjanjian ini adalah batal demi hukum. Maksudnya adalah perjanjian ini batal secara otomatis serta dianggap tidak pernah ada (kebatalan mutlak). Contoh semacam ini dapat ditemukan dalam putusan Pengadilan Negeri Cibadak Nomor 10/Pdt.G/2019/PN Cbd, dan konsep serupa ditemukan dalam putusan Pengadilan Negeri Cibadak Nomor 1/Pdt.G/2020/PN Cbd. Dalam kasus kebatalan mutlak, perjanjian dianggap tidak pernah ada atau batal sejak awal tanpa memerlukan tindakan pengadilan.
Dalam hal ini, agar Para Pihak memastikan bahwa syarat sah perjanjian terpenuhi dan untuk mencegah perjanjian itu dapat dibatalkan atau batal demi hukum, maka Para Pihak dapat menggunakan jasa dari konsultan hukum yang terpercaya untuk membuat dan/atau untuk melakukan review dari Perjanjian.
Disclaimer
Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.
Dasar Hukum
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
- Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
- Kompilasi Hukum Islam.
Penutup
Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di:
- Timoty Ezra Simanjuntak, SH.MH.IPC.CPM.CRA.CLA.CCCS. – Founder and Managing Partner – ezra@simanjuntaklaw.co.id
Aldo Prasetyo Riyadi, S.H. – Associate – office@simanjuntaklaw.co.id / info.simanjuntakandpartners@gmail.com