Dalam kerangka teori hukum perdata, penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian merupakan suatu konsep yang krusial. Penyalahgunaan keadaan terjadi ketika salah satu pihak memanfaatkan keadaan tertentu untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil dalam perjanjian. Artikel ini membahas bagaimana penyalahgunaan kondisi perekonomian, saat musim pandemi Covid-19, yang dapat memengaruhi pelaksanaan perjanjian dan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan keadaan.
Pada dasarnya, penyalahgunaan keadaan dalam konteks perjanjian terkait dengan ketidakseimbangan antara pihak-pihak yang terlibat. Misalnya, dalam situasi ekonomi sulit akibat pandemi, salah satu pihak mungkin memanfaatkan keadaan tersebut untuk mendapatkan keuntungan yang tidak seharusnya diperoleh dalam perjanjian. Namun, penting untuk membedakan antara kondisi memaksa dan penyalahgunaan keadaan. Kondisi memaksa dapat terjadi ketika seseorang terpaksa tidak dapat memenuhi kewajiban perjanjiannya akibat situasi yang di luar kendalinya, seperti dalam kasus kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Sementara itu, penyalahgunaan keadaan terjadi ketika seseorang dengan sengaja memanfaatkan keadaan sulit pihak lain untuk keuntungannya sendiri.
Meskipun belum banyak terdapat kasus konkret terkait pembatalan perjanjian akibat penyalahgunaan keadaan selama pandemi Covid-19, namun kondisi perekonomian salah satu pihak pada saat perjanjian dapat menjadi pertimbangan dalam menilai terjadinya penyalahgunaan keadaan. Sebagai contoh, dalam putusan Mahkamah Agung No. 2080 K/Pdt/2017, kondisi perekonomian salah satu pihak pada saat perjanjian diteken menjadi pertimbangan dalam menolak permohonan kasasi yang mengklaim terjadinya penyalahgunaan keadaan.
Dengan demikian, kondisi perekonomian yang sulit akibat pandemi Covid-19 dapat memengaruhi pelaksanaan perjanjian, namun untuk dapat dikualifikasi sebagai penyalahgunaan keadaan, harus dibuktikan adanya niat untuk memanfaatkan keadaan tersebut secara tidak adil. Oleh karena itu, dalam menilai terjadinya penyalahgunaan keadaan, pengadilan akan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kondisi perekonomian pada saat perjanjian dibuat.
Cacat Kehendak yang Memerlukan Pertimbangan Mendalam
Penyalahgunaan keadaan merujuk pada tindakan salah satu pihak dalam memanfaatkan keadaan tertentu untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil dalam suatu perjanjian. Istilah ini lazim digunakan dalam literatur hukum perdata di Indonesia dan sering kali diterjemahkan dari istilah Belanda “misbruik van omstandigheden“. Penyalahgunaan keadaan dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu penyalahgunaan karena keunggulan ekonomis dan penyalahgunaan karena keunggulan kejiwaan (psikologis).
Keunggulan ekonomis terjadi ketika salah satu pihak memanfaatkan keadaan ekonomis yang tidak seimbang untuk keuntungannya sendiri. Sementara itu, penyalahgunaan keadaan karena keunggulan kejiwaan terjadi ketika salah satu pihak memanfaatkan keadaan psikologis atau kejiwaan pihak lain yang tidak normal untuk mempengaruhi pihak tersebut dalam melakukan suatu perbuatan hukum.
Dalam konteks hukum perdata, penyalahgunaan keadaan dapat dikategorikan sebagai cacat kehendak, yang merupakan syarat subjektif sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Penyalahgunaan keadaan lebih berhubungan dengan syarat subjektif perjanjian daripada syarat objektif perjanjian.
Dalam praktiknya, penyalahgunaan keadaan sering kali sulit untuk dibuktikan, namun dapat menjadi dasar pembatalan perjanjian jika terbukti. Pengadilan akan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kondisi ekonomi dan psikologis pihak yang terlibat, untuk menentukan apakah terjadi penyalahgunaan keadaan dalam suatu perjanjian.
Ridwan Khairandy dalam bukunya ‘Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan’ membedakan dua jenis penyalahgunaan keadaan. Pertama, saat seseorang menggunakan posisi psikologis dominannya secara tidak adil untuk menekan pihak yang lemah agar menyetujui suatu perjanjian. Kedua, saat seseorang menggunakan wewenang, kedudukan, dan kepercayaannya secara tidak adil untuk membujuk pihak lain guna melaksanakan suatu transaksi.
Dalam praktiknya, penyalahgunaan keadaan sering kali sulit untuk dibuktikan, namun dapat menjadi dasar pembatalan perjanjian jika terbukti. Beberapa putusan pengadilan telah mempertimbangkan penyalahgunaan keadaan, seperti putusan Mahkamah Agung No. 52 PK/Pdt/2020 jo. putusan No. 124 K/Pdt/2018 dan putusan Mahkamah Agung No. 106 PK/Pdt/2020.
Meskipun KUH Perdata belum mengatur secara eksplisit penyalahgunaan keadaan sebagai dasar tersendiri untuk memohonkan pembatalan perjanjian, putusan pengadilan telah memberikan contoh-contoh yang mempertimbangkan penyalahgunaan keadaan. Oleh karena itu, penyalahgunaan keadaan merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan dalam konteks pembatalan perjanjian.
Disclaimer
Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.
Dasar Hukum
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Penutup
Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di:
- Timoty Ezra Simanjuntak, SH.MH.IPC.CPM.CRA.CLA.CCCS. – Founder and Managing Partner – ezra@simanjuntaklaw.co.id
Godfrid Hamonangan Simatupang, S.H. – Associate – office@simanjuntaklaw.co.id / info.simanjuntakandpartners@gmail.com