S&P Law Office

Pemaksaan dan Penyalahgunaan Keadaan dalam Perjanjian, Bagaimana Hukumnya?

S&P Law Office - Legal Brief

Terkadang dalam pembuatan suatu perjanjian, para pihak tidak sering melakukan pemaksaan terhadap pihak lainnya. Dalam hal ini salah satu pihak berada dalam keadaan tertekan dan berada dalam keadaan tidak seimbang. Selain itu, tidak jarang dalam pembuatan perjanjian juga ditemukan istilah adanya penyalahgunaan keadaan, dimana Para Pihak menyalahgunakan keadaan pihak lainnya untuk membuat suatu perjanjian. Tentu pembuatan perjanjian dengan adanya pemaksaan dan penyalahgunaan keadaan dapat merugikan salah satu pihak lainnya dan bertentangan dengan prinsip dari perjanjian yang pada dasarnya adalah hubungan saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Lantas, apa yang dimaksud dengan keadaan terpaksa dan penyalahgunaan keadaan?

 

Pemaksaan dalam Perjanjian

Dalam hukum Perjanjian, terdapat asas kebebasan berkontrak, dimana Para Pihak dapat mengikatkan diri dalam kontrak kepada siapa saja, kapan saja, serta dalam bentuk apa saja, sepanjang ketiga hal tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang. Dalam pembuatan suatu kontrak, dikatakan tidak ada paksaan apabila Para Pihak dalam membuat suatu kontrak tidak ada dalam kondisi ancaman maupun ketakutan, baik yang bersifat fisik maupun mental. Dalam Pasal 1321 jo. Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) diatur bahwa tiada suatu persetujuan mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan dan paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, kami kutip sebagai berikut:

  • Pasal 1321 KUH Perdata:

“Tiada suatu persetujuan yang mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan pakasaan atau penipuan”.

 

  • Pasal 1323 KUH Perdata:

“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, apabila paksaan itu dilakukan pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu”.

 

Dalam pengaturan hukum perdata, suatu perbuatan dapat dikatakan paksaan apabila tindakan tersebut adalah sedimikan rupa sehingga memberikan kesan, dapat menimbulkan ketakutan bagi mereka yang berakal sehat, yang ditujukan terhadap dirinya, orang-orangnya atau kekayaannya. Paksaan juga tidak hanya ditujukan kepada para pihak, namun juga dilakukan terhadap suami, istri atau keluarganya, dalam garis ke atas maupun ke bawah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1324 KUH Perdata jo. Pasal 1325 KUH Perdata, kami kutip sebagai berikut:

  • Pasal 1324 KUH Perdata:

Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.”

 

  • Pasal 1325 KUH Perdata:

Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah”.

 

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat dengan adanya paksaan, bertentangan dengan syarat sah yang pertama dalam perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak. Hal tersebut dikarenakan apabila ada paksaan dari salah satu pihak ke pihak lainnya, maka dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian tersebut tidak ada kesepakatan, dikarenakan salah satu pihak memaksakan kehendaknya kepada pihak lainnya.

 

Penyalahgunaan Keadaan

Dalam Bahasa Belanda, penyalahgunaan keadaan dikenal dengan istilah misbruik van onstandigheden. Dalam hukum Belanda, penyalahgunaan keadaan adalah suatu ajaran yang mengatur bahwa terdapat keadaan yang tidak seimbang dari para pihak dalam membuat perjanjian. Keadaan yang tidak seimbang tersebut disebabkan karena terdapat kelemahan di antara salah satu pihak. Penyalahgunaan keadaan sebagai alasan perjanjian pertama kali digunakan dalam putusan hoge raad dalam perkara arrest II-HR tertanggal 11 Januari 1957 sebagaimana dilansir dari H. Nanang Hermansyah, S.H., M.Hum., dalam jurnalnya yang berjudul  Paksaan (Dwang/Duress) Menurut Civil Law System (KUH Perdata Indonesia) Dan Common Law System (Yurisprudensi Inggris) Dalam Perjanjian, yang mengatur:

“Suatu persetujuan bisa saja tidak memiliki sebab yang sah, sehubungan dengan pengaruh-pengaruh khusus, yang berperan pada saat pembuatan persetujuan, yang didalamnya pihak yang dirugikan menanggung beban yang tidak seimbang dengan yang semestinya satu dan lain disebabkan tekanan situasi dan kondisi yang disalahgunakan oleh pihak lawannya.”

Terkait dengan penyalahgunaan keadaan, hak tersebut dapat muncul dari sebuah kondisi ketergantungan dari pihak yang lebih lemah, misalnya ada ketergantungan ekonomi. Penyalahgunaan keadaan dapat juga muncul dikarenakan adanya bargaining position salah satu pihak yang lebih kuat, muncul dalam keadaan darurat, maupun keadaan lainnya. Penyalahgunaan keadaan melanggar ketentuan terdapat kesepakatan dalam membuat perjanjian, dengan penjelasan sama seperti di atas, dimana dalam penyalahgunaan tentu saja terdapat pihak yang memaksakan kehendaknya kepada pihak lain atau pihak yang lebih lemah keadannya “terpaksa” untuk mengikatkan dirinya dalam perjanjian dengan syarat dan ketentuan yang sudah ditentukan sebelumnya oleh pihak yang lebih kuat kedudukannya. Penyalahgunaan sendiri terbagi menjadi 2 (dua) hal, yaitu penyalahgunaan ekonomis dan penyalahgunaan keadaan ekonomi. Penyalahgunaan ekonomis terjadi ketika terdapat pihak yang lebih kuat secara finansial, sedangkan penyalahgunaan psikologis.

Untuk mencegah adanya pemaksaan dan penyalahgunaan keadaan, Para Pihak yang kedudukannya lebih lemah dapat menghubungi Konsultan Hukum terpercaya untuk memastikan bahwa tidak ada pemaksaan dan penyalahgunaan keadaan pada saat pembentukan dan pembuatan perjanjian. Terkait dengan biaya, Para Pihak tidak perlu khawatir dikarenakan Konsultan Hukum dapat memberikan jasa kepada Para Pihak secara pro bono berdasarkan kesepakatan Para Pihak.


Disclaimer

Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.


Dasar Hukum

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Penutup

Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di:

About S&P Law Office

S&P are passionate about helping our clients through some of their most challenging situations. We take a practical approach to your case, and talk with you like a real person. With each and every client, we aim to not only meet, but to exceed your expectations.

Recent Post