S&P Law Office

Penipuan Sebagai Alasan dalam Pembatalan Perjanjian

S&P Law Office - Legal Brief

Di dalam hukum, ada kemungkinan untuk meminta pembatalan suatu persetujuan atau perjanjian jika terdapat unsur tipu muslihat. Namun, penting untuk diingat bahwa untuk mengajukan permohonan pembatalan dengan alasan tipu muslihat, pihak yang mengajukan harus menyediakan bukti yang cukup untuk mendukung klaim tersebut. Hal yang sama berlaku ketika seseorang ingin membatalkan suatu putusan arbitrase dengan alasan tipu muslihat atau penggunaan surat palsu. Dalam hal ini, pihak yang mengajukan upaya pembatalan perlu membuktikan klaimnya dengan bukti yang kuat. Oleh karena itu, sekadar menuduh pihak lain melakukan tipu muslihat tanpa bukti yang memadai tidak akan memadai dalam upaya pembatalan yang sah dan berdasarkan hukum.

Pengaturan Mengenai Penipuan Sebagai Alasan dalam Pembatalan Perjanjian dalam KUH Perdata

Perlu diketahui bersama bahwa salah satu syarat sah Perjanjian adalah terdapat kesepakatan antara Para Pihak. Dalam syarat tersebut, telah dibahas bahwa perjanjian tidak boleh mengandung dwaling (kesesatan), dwang (paksaan) dan bedrog (tipuan). J Satrio dalam bukunya (Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanian, 1995: 35) telah meafsirkan bahwa kata “bedrog” dapat ditafsirkan sebagai kata “penipuan”. Pada umumnya di masyarakat, penipuan sangat lekat dengan unsur dari suatu perbuatan pidana yang dilarang untuk dilakukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang hingga saat penulisan Legal Brief ini masih berlaku serta dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan bagi para pelakunya dapat diancam sanksi pidana. Hal tersebut diatur dalam Pasal 378 KUHP jo. Pasal 492 UU No. 1 Tahun 2023, kami kutip sebagai berikut:

  • Pasal 378 KUHP:

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”

 

  • Pasal 492 UU No. 1 Tahun 2023:

“Setiap Orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.”

 

Catatan:

Berdasarkan pengaturan UU No. 1 Tahun 2023 diatur bahwa denda kategori V besarannya adalah paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah). Hal tersebut diatur dalam pasal 79 ayat (1) huruf e UU No. 1 Tahun 2023, kami kutip sebagai berikut:

  • Pasal 79 ayat (1) huruf e UU No. 1 Tahun 2023:

“Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:

kategori V, Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);”

 

Namun ternyata, pengaturan penipuan juga diatur dalam Pasal 1328 KUH Perdata jo. Pasal 1449 KUH Perdata, dimana terdapat persyaratan bahwa penipuan harus digunakan sedemikian rupa, sehingga dengan nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian tanpa adanya tipu muslihat dan perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan, atau penipuan menimbukan tuntutan untuk membatalkannya. Penipuan ini harus dapat dibuktikan dan tidak bisa hanya dikira-kira, kami kutip sebagai berikut:

  • Pasal 1328 KUH Perdata:

“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan.”

 

  • Pasal 1449 KUH Perdata:

“Perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan atau penipuan, menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya.”

 

Dilansir dari situs Hukum Online, apabila merujuk pada ketentuan Pasal 1328 KUH Perdata, apabila suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai penipuan, maka dalam perbuatan tersebut harus terdapat tipu muslihat (kunstgerepen). Sehingga, bohong saja tidak cukup untuk menyebut adanya suatu penipuan. Kamus hukum Fockema Andreae dijelaskan bahwa bedrog merupakan cara yang dilakukan seseorang dengan sebuah tipu muslihat untuk menimbulkan gambaran yang menyesatkan kepada orang lain. Dalam pengertian menurut Black Law Dictionary, bedrog (penipuan) dapat ditafsirkan menjadi fraud, yang memberikan definisi sebagai berikut:

“Fraud consists of some deceitful practice or willful device, resorted to withintent to deprive another of his right, or in some manner to do him an injury. As distinguishedfrom negligence, it is always positive, intentional. Fraud, as applied to contracts, is the cause of an error bearing on a material part ofthe contract, created or continued by artifice, with design to obtain some unjustadvantage to the one party, or to cause an inconvenience or loss to the other.”

 

Yang dapat diartikan sebagai berikut:

“Penipuan terdiri dari beberapa praktik tipu muslihat atau perangkat yang disengaja, yang dilakukan dengan maksud untuk merampas hak orang lain, atau dengan cara tertentu untuk membuatnya terluka. Sebagai pembeda dari kelalaian, penipuan selalu bersifat positif dan disengaja. Penipuan, sebagaimana diterapkan pada kontrak, adalah penyebab kesalahan yang berkaitan dengan bagian material dari kontrak, yang dibuat atau dilanjutkan dengan kecerdikan, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang tidak adil bagi salah satu pihak, atau menyebabkan ketidaknyamanan atau kerugian bagi pihak lain.”

 

Konsekuensi dari Perjanjian yang di Dalamnya Mengandung Penipuan

Dalam hal ini, perlu hati-hati untuk menentukan apakah seseorang dalam membuat perjanjian dapat dikualifisir sebagai penipuan maupun wanprestasi. Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 4/Yur/Pid/2018 (“Yurisprudensi MA RI”) diatur bahwa dapat dikatakan sebagai penipuan apabila dalam pembatalan perjanjian harus mengandung iktikad buruk atau iktikad tidak baik, kami kutip sebagai berikut:

  • Yurisprudensi MA RI:

“Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan, kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/tidak baik.”

 

Sehingga, dikarenakan sudah dijelaskan sebelumnya bahwa penipuan dalam suatu perjanjian adalah melanggar syarat subyektif perjanjian berupa kesepakatan, maka para pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan upaya hukum berupa mengajukan pembatalan perjanjian di Pengadilan Negeri. Contoh Putusan yang membatalkan perjanjian karena adanya penipuan adalah Putusan No. 03/Pdt.G/2015/PN.Btl, dimana Putusan tersebut memberikan pertimbangan bahwa Tergugat I telah melakukan penipuan kepada Para Penggugat dengan tidak melunasi pembayaran jual beli tanah hingga saat ini, sehingga Perbuatan Tergugat I dapat dikatakan sebuah penipuan dan perjanjian jual beli dapat dibatalkan.


Disclaimer

Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.


Dasar Hukum

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP

Penutup

Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di:

About S&P Law Office

S&P are passionate about helping our clients through some of their most challenging situations. We take a practical approach to your case, and talk with you like a real person. With each and every client, we aim to not only meet, but to exceed your expectations.

Recent Post