S&P Law Office

PERAN KONSEP NOVUM DALAM PK TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN

S&P Law Office - Legal Brief

Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Jo. Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang “Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum” telah mengatur mengenai peninjauan kembali (PK) atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Salah satu syarat untuk mengajukan PK adalah adanya bukti baru atau novum.

Novum sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang baru atau fakta baru, termasuk halnya keadaan hukum baru. Dalam Bahasa latin, novum yang dikenal dengan “noviter perventa” yang bermakna sebagai fakta baru yang ditemukan, dalam hal mana dapat menjadi dasar untuk peninjauan kembali. Hal ini diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Selain itu, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 juga menyebutkan bahwa PK dapat diajukan apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan. Oleh karena itu, novum merupakan salah satu dasar yang sah untuk mengajukan PK dalam kasus-kasus pertanahan.

Dikutip dari laman resmi Mahkamah Agung, novum dalam sengketa pertanahan merujuk pada bukti baru yang muncul setelah putusan berkekuatan hukum tetap, yang dapat menjadi dasar untuk PK dalam penyelesaian sengketa. Dalam praktik peradilan, novum digunakan sebagai alasan untuk mengajukan PK atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, terutama dalam kasus-kasus pertanahan yang melibatkan bukti-bukti baru yang tidak tersedia pada saat pemeriksaan awal.

Oleh karena itu, novum memegang peranan penting dalam memungkinkan pihak-pihak yang bersengketa untuk mengajukan PK dan memperoleh keadilan dalam penyelesaian sengketa pertanahan. Lalu faktor apa saja yang menentukan novum bisa dibuktikan? Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi novum, antara lain;

Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pengadilan dalam Menentukan Novum dalam Sengketa Pertanahan:

  1. Adanya bukti baru yang relevan dan signifikan;
  2. Bukti tersebut tidak dapat ditemukan pada saat pemeriksaan awal;
  3. Bukti tersebut dapat mempengaruhi putusan pengadilan jika ditemukan pada saat pemeriksaan awal;
  4. Kredibilitas bukti baru, yaitu apakah bukti tersebut dapat dipercaya dan dianggap sah oleh pengadilan;
  5. Dapat mempengaruhi hak-hak pihak yang bersengketa;
  6. Pengajuan PK atas dasar bukti baru tersebut dapat memperbaiki keadilan dalam penyelesaian sengketa pertanahan.

 

Mendalami PK dalam Novum

PK menjadi instrumen penting dalam sistem peradilan Indonesia, dimana PK memberikan peluang untuk meninjau kembali suatu putusan demi keadilan. Dalam hal ini, konsep novum, atau fakta materiil baru, menjadi pokok pembahasan untuk memahami kriteria yang diperlukan agar PK dapat diterima.

Pasal 67 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Jo. Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 memberikan landasan hukum yang kuat untuk mengajukan PK terhadap putusan pengadilan. Disposisi ini secara tegas menetapkan beberapa alasan yang dapat menjadi dasar bagi pihak yang merasa dirugikan untuk melakukan upaya hukum tersebut. Salah satu alasan yang diatur adalah “apabila terdapat kekhilafan hakim, kekeliruan yang nyata, atau adanya novum yang dapat mengubah kualifikasi hukum suatu perbuatan”.

Penetapan ini memberikan kemungkinan bagi pihak yang berkepentingan untuk mengajukan PK, terutama jika merasa ada kekhilafan hakim atau kekeliruan yang mencolok dalam putusan pengadilan. Kekhilafan hakim dapat mencakup pemahaman yang keliru terhadap fakta-fakta atau hukum yang diajukan dalam persidangan, sedangkan kekeliruan yang nyata menyangkut kesalahan substansial yang terdapat dalam putusan tersebut.

Tidak hanya itu, Mahkamah Agung memberikan perhatian khusus lewat peraturannya terkait peninjauan kembali atas putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ini berarti bahwa alasan-alasan seperti kekhilafan hakim, kekeliruan yang nyata, atau adanya novum dapat menjadi dasar yang sah untuk mengajukan PK terhadap putusan pengadilan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap.

Maka, adanya peraturan ini menciptakan mekanisme hukum yang memberikan perlindungan dan keadilan bagi pihak yang berpotensi dirugikan oleh keputusan pengadilan yang diduga keliru atau tidak berdasar pada keadaan yang sebenarnya. Pasal-pasal ini memberikan landasan yang jelas bagi upaya hukum PK, menjadikannya sebagai instrumen yang relevan dalam memastikan integritas dan keadilan sistem peradilan.

 

Konsep Novum dalam PK

Konsep novum dalam PK merujuk pada fakta materiil baru yang muncul dari kompleks fakta yang sama. Dalam lingkup pidana, novum dapat melibatkan berbagai unsur seperti orang, waktu, tempat, sarana, dan korban (Hukum Online). Meskipun demikian, regulasi yang mengatur secara rinci kualifikasi novum sebagai dasar PK belum secara tegas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketiadaan ketentuan yang spesifik ini menimbulkan interpretasi yang bervariasi terkait kualifikasi novum sebagai dasar PK.

Dalam prakteknya, kualifikasi novum sebagai dasar PK sering kali bergantung pada interpretasi dan penafsiran hakim. Terlepas dari ketidakpastian ini, konsep novum tetap dapat menjadi dasar yang sah untuk mengajukan PK terhadap suatu putusan pengadilan. Terutama jika fakta baru yang muncul dapat mengubah kualifikasi hukum suatu perbuatan dalam putusan tersebut.

Pentingnya penilaian hakim terhadap relevansi dan substansi fakta materiil baru menjadi kunci dalam menentukan apakah suatu perkara memenuhi syarat untuk diajukan PK. Meskipun KUHAP tidak memberikan pedoman yang eksplisit, peran hakim menjadi sentral dalam menentukan apakah novum tersebut memiliki dampak yang substansial terhadap keadilan dan kebenaran hukum.

Dengan demikian, sementara ada kekosongan dalam regulasi, konsep novum dalam PK memberikan ruang bagi pengajuan upaya hukum yang mempertimbangkan fakta-fakta baru yang dapat mengubah dinamika peradilan dan memberikan peluang bagi pihak yang merasa dirugikan untuk memperoleh keadilan yang lebih baik.

 

Waktu Pembuatan Novum

Waktu pembuatan novum menjadi aspek kritis dalam PK. Novum, yang merujuk pada fakta materiil baru yang muncul setelah dikeluarkannya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, memainkan peran sentral dalam proses hukum. Meskipun demikian, kualifikasi novum sebagai dasar PK tidak diatur secara rinci dalam KUHAP, sehingga masyarakat sering kali menghadapi interpretasi yang beragam.

Putusan MA mencatat sejumlah kasus di mana surat bukti baru, meskipun ditemukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, tidak selalu diakui sebagai novum yang dapat diterima. Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa novum harus benar-benar merupakan fakta atau keadaan baru yang timbul setelah putusan berkekuatan hukum tetap agar dapat dianggap sebagai dasar yang sah untuk mengajukan PK.

Kejelasan regulasi terkait waktu pembuatan novum menjadi relevan dalam memahami apakah suatu bukti dapat dianggap sebagai dasar yang memenuhi syarat untuk PK. Meskipun KUHAP belum memberikan panduan yang spesifik, penekanan pada unsur kebaruan setelah berkekuatan hukum tetap menunjukkan pentingnya memperhatikan aspek kronologis ini. Dengan demikian, pengajuan PK memerlukan pertimbangan seksama terhadap fakta atau keadaan yang muncul pasca-putusan berkekuatan hukum tetap agar memenuhi syarat sebagai novum yang dapat diterima.

 

Pentingnya Finalitas dalam PK

Dikutip dari buku berjudul Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan karya Binziad Kadafi, seorang Komisi Yudisial mengungkapkan pentingnya finalitas dalam PK. Ia menyoroti perlunya memberikan bobot yang lebih besar pada asas finalitas sebagai landasan utama dalam mengevaluasi keberlanjutan PK. PK, sebagai suatu upaya hukum yang dilakukan secara luar biasa, perlu dijalankan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Tujuannya bukan untuk disalahgunakan, melainkan untuk memastikan bahwa setiap pengajuan PK benar-benar merupakan langkah terakhir yang diambil dengan itikad baik.

Pentingnya finalitas putusan dalam konteks PK tak dapat diabaikan. Upaya ini seharusnya menjadi langkah terakhir yang diambil oleh pihak yang merasa dirugikan, menjadikan PK sebagai instrumen hukum yang digunakan dengan penuh tanggung jawab. Adanya finalitas putusan menegaskan kepastian hukum, dan dengan mengutamakan aspek ini, proses hukum dapat terjaga dari potensi penyalahgunaan.

Melalui penekanan pada asas finalitas, Binziad Kadafi memperingatkan bahwa PK dapat menjadi risiko jika tidak dikelola secara cermat. Upaya untuk mengoreksi kesalahan dalam putusan harus sejalan dengan prinsip keadilan dan tetap menghormati kepastian hukum. Oleh karena itu, penilaian seksama terhadap urgensi PK dan kejelasan dasar hukumnya perlu menjadi perhatian utama, guna menjaga keseimbangan antara hak untuk mengajukan PK dan perlindungan terhadap kepastian hukum.


Disclaimer

Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.


Dasar Hukum

  • Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Jo. Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
  • Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
  • Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
  • Pasal 67 Huruf F Undang-Undang Mahkamah Agung
  • Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969

Penutup

Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di:

About S&P Law Office

S&P are passionate about helping our clients through some of their most challenging situations. We take a practical approach to your case, and talk with you like a real person. With each and every client, we aim to not only meet, but to exceed your expectations.

Recent Post