S&P Law Office – Legal Brief
06/S&P-LB.6-Kontrak/X/2023
13 Oktober 2023
Muatan kontrak merupakan frasa atau terminologi yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam sebuah kontrak. Interpretasi yang berbeda terhadap muatan kontrak dapat menyebabkan perselisihan antara pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Oleh karena itu, penting bagi setiap pihak untuk memahami muatan kontrak secara jelas dan menghindari penafsiran yang menyimpang dari isi perjanjian. Penyelesaian sengketa dalam kontrak dapat dilakukan melalui arbitrase atau melalui badan peradilan. Dalam penyusunan kontrak bisnis, diperlukan keahlian khusus dan kemampuan untuk merancang naskah perjanjian secara teliti agar menghindari perbedaan pandangan atau penafsiran terkait dengan kerangka kontrak.
Pasal 1342 KUHPerdata menegaskan bahwa ketika istilah-istilah dalam suatu perjanjian sudah jelas, tidak diizinkan untuk menafsirkannya dengan cara yang berbeda. Ini berarti pihak yang terlibat dalam perjanjian harus memiliki pemahaman yang jelas terhadap muatan kontrak dan tidak diperbolehkan untuk menafsirkannya secara berbeda dari kesepakatan yang sudah dibuat. Tujuannya adalah mencegah timbulnya perbedaan pandangan atau sengketa di antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Oleh karena itu, sangat penting bagi para pihak untuk memahami secara cermat muatan kontrak dan menghindari penafsiran yang keliru atau menyimpang dari isi perjanjian yang telah disetujui.
Muatan Pasal a quo, atau yang dikenal sebagai asas Sens Clair, menegaskan bahwa suatu kontrak tidak boleh diartikan secara berbeda dari isi perjanjian apabila teks atau kata-katanya sudah cukup jelas.
Dalam karya Penafsiran Kontrak Menurut KUHPerdata dan Maknanya bagi Para Pihak yang Bersangkutan, Bambang Sutiyoso mengklasifikasikan Pasal 1342 KUHPerdata sebagai metode penafsiran objektif, yang lebih menitikberatkan pada apa yang tertulis dalam kontrak daripada maksud subjektif para pihak saat merumuskan klausula, terutama jika bahasa yang digunakan sudah cukup jelas.
Lalu, barangkali dari benak pembaca muncul berbagai pertanyaan, seperti:
• Apa kriteria yang menentukan bahwa bahasa dalam suatu kontrak sudah cukup jelas sehingga tidak perlu ditafsirkan lagi?
• Apa batasan yang mengindikasikan bahwa suatu penafsiran terhadap kontrak dianggap menyimpang dari isi kontrak itu sendiri? sementara dalam ranah hukum, satu kata, frasa, atau kalimat dapat memiliki banyak interpretasi, dan satu makna mungkin dapat dipahami dengan cara yang berbeda saat diterapkan.
Pasal 1342 KUHPerdata dalam Berbagai Pandangan
Menurut Ahmadi Miru dalam bukunya “Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW)”, Pasal 1342 KUHPerdata hanya menyatakan bahwa penafsiran diperlukan hanya jika kata-kata dalam perjanjian tidak jelas, memiliki makna ganda, atau dapat ditafsirkan dengan beberapa cara. Ahmadi berpendapat bahwa kontrak dapat ditafsirkan, tetapi penafsiran hanya diperbolehkan ketika klausula kontrak mengenai suatu hal tidak jelas. Oleh karena itu, pihak yang terlibat dalam perjanjian harus memahami dengan jelas muatan kontrak dan menghindari penafsiran yang keliru atau menyimpang dari isi perjanjian yang disetujui.
Suharnoko berpendapat bahwa jika perjanjian sudah jelas menetapkan kewajiban pemborong membuat jalan baru, bukan memperbaiki yang lama, maka pihak pemborong harus melaksanakan kewajiban tersebut. Sebaliknya, Munir Fuady, dalam “Hukum Kontrak (dalam sudut pandang hukum bisnis)”, berpendapat bahwa suatu kontrak idealnya tidak memerlukan penafsiran, karena kata-kata dalam kontrak seharusnya sudah dapat menjelaskan maksud klausula. Jika semuanya sudah jelas dalam kontrak, penafsiran tidak hanya tidak diperlukan, tetapi tidak diizinkan jika dapat menyimpang dari makna tersirat. Oleh karena itu, pemahaman yang jelas terhadap muatan kontrak sangat penting bagi pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Dalam bukunya “Penafsiran Hakim dalam Sengketa Kontrak,” Zamroni menjelaskan bahwa dalam sistem hukum common law, larangan penafsiran kontrak seperti yang diatur dalam Pasal 1342 KUHPerdata dikenal sebagai doktrin plain meaning rule atau doktrin kejelasan makna. Doktrin ini mengakibatkan pembatasan hakim untuk mempertimbangkan bukti ekstrinsik dalam menafsirkan teks yang sudah jelas. Namun, apabila isi kontrak menjadi ambigu, doktrin plain meaning rule tidak berlaku, dan penafsiran dapat dilakukan. Oleh karena itu, hakim dalam menafsirkan kontrak harus mempertimbangkan konteks lebih luas, melibatkan rangkaian fakta dari tahap pra-kontrak hingga pelaksanaan kontrak. Metode penafsiran kontrak juga dapat menggunakan hermeneutik, suatu pendekatan yang memanfaatkan semua instrumen penafsiran kontrak.
Plain meaning rule adalah suatu peraturan dalam penafsiran kontrak atau undang-undang yang menyatakan bahwa jika bahasa yang digunakan dalam kontrak atau undang-undang tersebut jelas dan tidak ambigu, maka makna kontrak atau undang-undang harus ditarik dari bahasa yang digunakan dan bukan dari bukti ekstrinsik. Doktrin ini juga dikenal sebagai doktrin kejelasan makna. Namun, apabila isi kontrak atau undang-undang tersebut ambigu, maka plain meaning rule tidak berlaku, dan penafsiran dapat dilakukan. Aturan ini umumnya terkait dengan tradisi common law.
Selain itu, dalam konteks praktik peradilan, penafsiran yang hanya mengandalkan teks kontrak dianggap tidak dapat memastikan niat sebenarnya dari para pihak. Oleh karena itu, hakim, dalam menafsirkan kontrak, harus melibatkan pandangan yang lebih holistik dengan mempertimbangkan serangkaian fakta sepanjang proses pembentukan kontrak, dari pra-kontrak hingga pelaksanaan kontrak. Hermeneutik, sebagai metode penafsiran kontrak, digunakan untuk memanfaatkan semua instrumen penafsiran yang tersedia. Pembatasan pada asas kebebasan berkontrak juga diperlukan dalam perjanjian komersial untuk melindungi kepentingan semua pihak secara adil. Oleh karena itu, penafsiran kontrak harus dilakukan secara hati-hati, mempertimbangkan semua faktor yang terkait dengan pembentukan dan pelaksanaan kontrak.
Dalam penafsiran kontrak, penting bahwa semua kontrak dianalisis dengan merujuk pada latar belakang fakta yang terkonfirmasi secara objektif. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa niat para pihak terkait kewajiban hukum mereka, yang diungkapkan dalam kata-kata kontrak, dapat dipahami dengan jelas. Meskipun sebuah dokumen terlihat memiliki makna yang jelas, pengadilan tetap memiliki hak untuk memeriksa konteks yang melingkupi kontrak.
Hakim memiliki kewenangan luas untuk menafsirkan dan menentukan isi kontrak yang dipertentangkan, walaupun dibatasi oleh fakta hukum, prinsip penafsiran kontrak, dan teks kontrak itu sendiri. Dalam praktik peradilan, penafsiran kontrak memerlukan kehati-hatian dan mempertimbangkan semua faktor yang terkait dengan pembentukan dan pelaksanaan kontrak. Terdapat beberapa kasus di mana pengadilan dapat mengubah isi perjanjian yang tampaknya jelas, namun sulit diterima secara keadilan faktual. Oleh karena itu, penafsiran kontrak harus dilakukan dengan mempertimbangkan semua faktor yang terkait, sambil memastikan bahwa niat para pihak terhadap kewajiban hukum mereka dapat dipahami dengan jelas.
Kebijaksanaan Hakim
Dalam ruang peradilan, seringkali aspek-aspek khusus tertentu dapat menyebabkan suatu kontrak mengalami perubahan, pembatalan, atau penafsiran ulang oleh majelis hakim. Tidak hanya terbatas pada ketidakjelasan dalam perjanjian, tetapi juga mencakup pasal yang secara tegas diatur namun ditafsirkan berbeda oleh majelis hakim atas dasar prinsip ‘Patusan yang seadil-adilnya’ (ex aequo et bono). Meskipun Pasal 1342 KUHPerdata menolak segala bentuk penafsiran yang dianggap jelas dalam suatu kontrak, namun istilah “jelas” itu sendiri bersifat relatif, dapat berbeda interpretasi antara pihak yang terlibat.
Dalam praktek peradilan, penafsiran kontrak memerlukan pertimbangan menyeluruh terhadap faktor-faktor yang terlibat dalam pembentukan dan pelaksanaan kontrak, serta memastikan pemahaman yang jelas terhadap niat para pihak terkait kewajiban hukum masing-masing. Meskipun Pasal 1342 KUHPerdata awalnya menolak penafsiran kontrak melalui bukti ekstrinsik, namun saat ini, penafsiran literalnya telah berubah menjadi panduan awal untuk memahami teks kontrak sebenarnya. Dengan demikian, hakim dalam menafsirkan kontrak harus mempertimbangkan semua faktor terkait, memastikan pemahaman yang jelas terhadap niat para pihak terkait kewajiban hukum masing-masing.
Dalam penafsiran kontrak, makna literal tidaklah menentukan, sehingga perlu memperhatikan fakta-fakta yang ada. Hal ini ditegaskan oleh Putusan Hoge Rood dalam perkara Havilte vs Ermes en Langeneerf (1987). Richard Posner juga menyebutkan bahwa seseorang tidak pernah sepenuhnya bisa percaya diri untuk dapat menentukan arti dari suatu dokumen dari dokumen itu sendiri. Oleh karena itu, dalam menafsirkan suatu kontrak, hakim harus mempertimbangkan semua faktor yang terkait dengan pembentukan kontrak dan pelaksanaannya, serta memastikan bahwa maksud para pihak terhadap kewajiban hukum masing-masing dapat dipahami dengan jelas.
Pasal 1339 KUHPerdata juga menegaskan bahwa BW tidak menginginkan ikatan perjanjian hanya sebatas ‘apa yang tegas’ saja ditentukan di dalamnya, melainkan juga perlu menggali sifat perjanjian dari aspek keadilan. Oleh karena itu, dalam praktik peradilan, penafsiran kontrak harus dilakukan dengan mempertimbangkan semua faktor yang terkait dengan pembentukan kontrak dan pelaksanaannya, serta memastikan bahwa maksud para pihak terhadap kewajiban hukum masing-masing dapat dipahami dengan jelas dan keadilan.
Pasal 1339 KUHPerdata
Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penafsiran kontrak, hakim harus mempertimbangkan semua faktor yang terkait dengan pembentukan kontrak dan pelaksanaannya, serta memastikan bahwa maksud para pihak terhadap kewajiban hukum masing-masing dapat dipahami dengan jelas dan keadilan.
Pencegahan Sengketa dengan Kontrak yang Sederhana
Plain English (PE) adalah teknik penulisan kontrak dengan bahasa yang mudah dipahami. Teknik ini sudah diterapkan di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Advokat yang ingin menggunakan teknik ini perlu memiliki kreativitas dan pemahaman yang komprehensif mengenai aturan fundamental dalam PE.
Dalam penyusunan kontrak berbahasa Inggris, terdapat beberapa kesalahan umum yang perlu dihindari, seperti:
Untuk menghindari kesalahan tersebut, disarankan untuk memperhatikan detail dan terminologi yang digunakan dalam kontrak, memperhatikan hukum yang berlaku di negara tempat kontrak dibuat, serta memperhatikan aspek keamanan dan kerahasiaan dalam kontrak.
Dalam penyusunan kontrak, seringkali terjadi kesalahan umum terkait penggunaan kata “shall”. Beberapa pengacara di Indonesia kadang menganggap bahwa kata “shall” dapat digunakan untuk semua kondisi, bahkan seringkali disamakan dengan “must”. Namun, sebenarnya kedua kata ini memiliki risiko hukum yang berbeda. “Must” berkaitan erat dengan kewajiban (obligation), sementara “shall” hanya menunjukkan suatu keharusan tanpa implikasi yang kuat.
Perlu diingat bahwa dalam perancangan kontrak di Indonesia, governing language yang berlaku adalah Bahasa Indonesia. Meskipun kontrak diterjemahkan menggunakan kata “shall”, sebetulnya artinya adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan. Namun, klien asing yang tidak memahami perbedaan ini mungkin tidak menyadari kewajiban sebenarnya yang terkandung dalam kontrak tersebut. Hal ini dapat menyebabkan risiko hukum karena kewajiban tersebut mungkin diabaikan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memperhatikan penggunaan kata-kata dalam kontrak dan memastikan bahwa terjemahan yang digunakan sesuai dengan maksud dan tujuan kontrak. Hal ini dapat mencegah terjadinya kesalahpahaman dan risiko hukum di masa mendatang. **
Disclaimer
Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.
Dasar Hukum:
Pasal 1342 dan Pasal 1339 KUHPerdata
Penutup
Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di :
• Timoty Ezra Simanjuntak – Managing Partner – ezra@splawoffice.co.id
• Ahmad Zaim Yunus – Associate – info.simanjuntakandpartners@gmail.com