Pembuatan atas suatu kontrak menjadi hal yang sudah lumrah, terutama apabila ditinjau terkait dengan perkembangan zaman bahwa seiring berkembangnya zaman maka semakin berkembangnya juga kebutuan dari masyrakat. Tidak bisa dimungkiri, manusia yang merupakan bagian dari suatu masyarakat adalah merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan interaksi antara yang satu dengan lainnya. Sehingga, dalam menjalankan interaksi tersebut, manusia dan dalam perkembangannya badan hukum, sering membuat kontrak dalam menjalankan interaksi antara satu dengan yang lainnya.
Setelah dibuatnya kontrak tersebut, tidak jarang sering timbul permasalahan yang dapat mengarah kepada kemungkinan sengketa yang timbul dan tidak jarang juga sengketa tersebut menyebabkan Para Pihak memutuskan untuk membatalkan atau mengakhiri Perjanjian secara sepihak. Kemudian, timbul pertanyaan apakah pembatalan kontrak secara sepihak dapat dimungkinkan? Mengingat esensi dari terbentuknya kontrak adalah berdasarkan kesepakatan dari para pihak dan bukan dari satu pihak saja.
Pengaturan Pembatalan Perjanjian dalam KUHPerdata
Pada dasarnya, pengaturan terkait dengan pembatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 Burgerlijk Wetboek (“KUH Perdata”), yang mengatur bahwa syarat batal dianggap selalu tercantum dalam perjanjian timbal balik dalam perjanjian, namun tidak secara otomatis perjanjian tersebut batal demi hukum, namun harus dimintakan kepada pengadilan, kami kutip sebagai berikut:
- Pasal 1266 KUHPerdata:
- “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.”
- Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.
- Pasal 1267 KUHPerdata:
- “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.”
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, pada umumnya suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak berdasarkan putusan pengadilan. Namun, yang perlu diperhatikan adalah apabila suatu perjanjian dibatalkan, hak-hak pihak ketiga atau pihak terkait yang ada dalam perjanjian tersebut tidak otomatis gugur (tidak dapat menghilang dan tidak dapat ditiadakan). Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah pengakhiran perjanjian secara sepihak tanpa alasan yang sah menurut yurisprudensi tetap tanpa alasan yang sah adalah sebuah Perbuatan Melawan Hukum dan pembatalan perjanjian secara sepihak dapat menjadi dasar hukum bagi pihak lainnya untuk melakukan gugatan kepada pengadilan. Contoh kasusnya dapat kita lihat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (“Yurisprudensi MA RI”) Nomor: 4/Yur/2018, yang memuat kaidah hukum sebagai berikut:
- Yurisprudensi No. 4/Yur/2018:
“Bahwa perbuatanTergugat/Pemohon Kasasi yang telah membatalkan perjanjian yang dibuatnya denganPenggugat/Termohon Kasasi secara sepihak tersebut dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak.”
Untuk mencegah hal tersebut, apabila salah satu pihak ingin melakukan pembatalan atau pengakhiran perjanjian secara sepihak, maka pengesampingan atau pengakhiran tersebut harus melihat kembali ketentuan dalam Perjanjian.
Pendapat Para Ahli Terkait Dengan Pengaturan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata
Dalam praktiknya, biasanya terkait dengan pembatalan perjanjian Para Pihak secara tegas mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata. Namun, sebenarnya masih terdapat perbedaan pendapat dari Para Ahli apakah pengesampingan terhadap Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata dapat dilakukan, dengan rincian sebagai berikut:
1. Para Ahli yang berpendapat bahwa pengesampingan terhadap pasal tersebut adalah tidak tepat. Kelompok ini terdapat Yahya Harahap, Gunawan Widjaja, Mariam Darus Badrulzaman, dan Kartini Muljadi. Para Ahli ini berpendapat pada pokoknya bahwa Pasal 1266 KUH Perdata dipandang sebagai syarat dalam membatalkan suatu Perjanjian dan tidak dengan sendirinya membatalkan perjanjian (Pembatalan harus dimintakan ke pengadilan) dan Perjanjian yang mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata adalah batal dikarenakan tidak memenuhi ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata (Perjanjian mengandung sebab terlarang).
2. Para Ahli yang berpendapat bahwa pengesampingan Pasal tersebut dapat dilakukan. Kelompok ini terdapat J. Satrio, Munir Fuady, Agus Yudha Hernoko dan Herlien Budiono. Para Ahli ini berpendapat bahwa pengesampingan ini dapat dilakukan lebih mendekati nilai kepraktisan. Apabila seluruh pembatalan perjanjian harus memenuhi prosedur di pengadilan, maka hal tersebut menjadi berbelit-belit dan melelahkan. Ketentuan ini digantungkan pada syarat bahwa pihak lawan melakukan wanprestasi dan pengesampingan pasal tersebut hanyalah mengenai persoalan perantara hakim dalam mengakhiri perjanjian. Berikut ini adalah table rangkuman alasan-alasan batalnya suatu perikatan sebagaimana termuat dalam Pasal 1381 KUH Perdata:
3. Ahli yang berpendapat bahwa pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata harus dilihat kasus demi kasus. Ahli tersebut adalah Suharnoko.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sangat disarankan Para Pihak yang akan melakukan pembatalan secara sepihak dalam perjanjian dapat melakukan konsultasi kepada lawyer yang terpercaya untuk meminimalisir terjadinya Gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang diajukan oleh Pihak Lainnya.
Disclaimer
Seluruh isi data dan informasi dalam Legal Brief ini merupakan kompilasi dari sumber-sumber terpercaya. Legal Brief ini tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya dianggap sebagai nasihat atau opini hukum. Tidak disarankan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang ada pada layanan ini tanpa mencari layanan profesional terlebih dahulu.
Dasar Hukum
- Burgerlijk Wetboek (“BW”)
Sumber Lainnya:
- Amira Rahmadita dan Akhmad Cahyono, 2023, Pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata Dalam Pengakhiran Perjanjian Karena Wanprestasi: Studi Putusan-Putusan Pengadilan, Jurnal Lex Partimonium, Volume 2, Nomor 1.
Penutup
Jika Anda memiliki pertanyaan atau memerlukan lebih lanjut konsultasi mengenai legal brief ini, silakan menghubungi kami di :
- Timoty Ezra Simanjuntak, S.H., M.H. – Managing Partner – ezra@splawoffice.co.id
- Aldo Prasetyo Riyadi, S.H. – Associate – office@splawoffice.co.id / simanjutakandpartners@gmail.com